Salat Kafarat Pada Bulan Ramadan, Bagaimana Hukumnya?

Reporter

Editor

Dwi Arjanto

Ilustrasi salat. ANTARA
Ilustrasi salat. ANTARA

TEMPO.CO, Jakarta - Salat kafarat atau yang dikenal sebagai salat al-bara’ah merupakan salat yang dilakukan dengan niat mengganti salat fardhu yang telah ditinggalkan atau tidak sah sebelumnya. Dilansir dari laman Baznas Kota Yogyakarta, salat ini biasanya dilakukan pada Jum’at terakhir di bulan Ramadan.

Dikutip dari NU Online, dalam kitab Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf terdapat beberapa pandangan terkait salat ini. Ulama berbeda pandangan tentang hukum melakukan salat kafarat, ada yang membolehkan dan mengharamkannya.

Pendapat yang memperbolehkan

Pertama, bertendensi pada pendapat al-Qadli Husain yang membolehkan mengqadha shalat fardlu yang diragukan ditinggalkan. Pendapat tersebut sebagaimana keterangan berikuti ini:

“Cabangan permasalahan: al-Qadli Husain berkata, bila seseorang mengqadha shalat fardlu yang ditinggalkan secara ragu, maka yang diharapkan dari Allah shalat tersebut dapat mengganti kecacatan dalam shalat fardlu atau paling tidak dianggap sebagai shalat sunah. Saya mendengar bahwa sebagian ashabnya Bani Ashim berkata, bahwa ia mengqadha seluruh shalat seumur hidupnya satu kali dan memulai mengqadhanya untuk kedua kalinya. Al-Ghuzzi mengatakan, ini adalah faidah yang agung, yang jarang sekali dikutip oleh ulama.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz.2, halaman 27)

Kedua, tidak ada orang yang meyakini keabsahan shalat yang baru saja ia kerjakan, terlebih shalat yang dulu-dulu. 

Ketiga, larangan shalat kafarat dikarenakan ada kekhawatiran shalat tersebut cukup untuk mengganti shalat yang ditinggalkan selama setahun, ketika kekhawatiran tersebut hilang, maka hukum haram hilang.

Pendapat yang melarang

Pertama, tidak ada tuntunan yang jelas dari hadits Nabi atau kitab-kitab syari’ah, sehingga melakukannya tergolong isyra’u ma lam yusyra’ (mensyariatkan ibadah yang tidak disyari’atkan) atau ta’athi bi ‘ibadatin fasidah (melakukan ibadah yang rusak). 

Kedua, pengkhususan salat kafarat pada akhir Jumat bulan Ramadan tidak memiliki dasar yang jelas dalam syari’at. 

Ketiga, terdapat keterangan sharih dari pakar fikih otoritatif mazhab Syafi’i, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami sebagai berikut:

“Yang lebih buruk dari itu adalah tradisi di sebagian daerah berupa shalat 5 waktu di jumat ini (jumat akhir bulan Ramadan) selepas menjalankan salat jumat, mereka meyakini shalat tersebut dapat melebur dosa shalat-salat yang ditinggalkan selama setahun atau bahkan semasa hidup, yang demikian ini adalah haram atau bahkan kufur karena beberapa sisi pandang yang tidak samar.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz.2, halaman 457)

NU.OR.ID | BAZNAS.JOGJAKOTA
Pilihan editor: Ketahui Waktu yang Paling Utama untuk Itikaf di Bulan Ramadan