Asal-usul Halalbihalal di Indonesia dan Hikmahnya

Reporter

Editor

Laili Ira

Presiden Joko Widodo (kiri) bertemu dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat bersilaturahim pada hari pertama Idul Fitri 1443 Hijriah di Istana Kepresidenan Yogyakarta, Senin, 2 Mei 2022. Dalam pertemuan ini membahas tentang politik maupun ekonomi. Menurut Presiden, hal terpenting dari pertemuan tersebut adalah silaturahmi dan saling bermaafan. Foto :
Presiden Joko Widodo (kiri) bertemu dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto saat bersilaturahim pada hari pertama Idul Fitri 1443 Hijriah di Istana Kepresidenan Yogyakarta, Senin, 2 Mei 2022. Dalam pertemuan ini membahas tentang politik maupun ekonomi. Menurut Presiden, hal terpenting dari pertemuan tersebut adalah silaturahmi dan saling bermaafan. Foto :

TEMPO.CO, JakartaHalalbihalal menjadi salah satu tradisi yang sering dilakukan masyarakat Indonesia, terutama umat Islam saat Hari Raya Idulfitri atau Lebaran. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halalbihalal merupakan kegiatan saling bermaaf-maafan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diselenggarakan di sebuah tempat. 

Halalbihalal berasal dari kata serapan dalam bahasa Arab, yaitu halal, dengan sisipan kata bi di antara halal. Tapi, halalbihalal bukan lah tradisi Arab, tetapi kebiasaan bagi sebagian orang Indonesia. 

Berikut ini rangkuman terkait asal-usul halalbihalal di Indonesia serta hikmah pelaksanaannya. 

Asal-usul Halalbihalal

Melansir laman Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), terdapat sejumlah versi terkait sejarah halalbihalal. Dalam kamus Jawa-Belanda karya Dr. Th. Pigeaud pada 1983, istilah tersebut berasal dari kata alal behalal dan halal behalal. 

Kata alal behalal artinya dengan salam (datang dan pergi) untuk meminta maaf atas kesalahan diri kepada orang lebih tua atau orang lain setelah berpuasa (Lebaran atau Tahun Baru Jawa). Sedangkan halal behalal bermakna sebagai dengan salam (datang dan pergi) untuk saling memaafkan di saat Lebaran. 

Asal-muasal penggunaan kata halalbihalal tersebut bermula dari pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari, Solo, sekitar 1935-1936. 

Saat itu, martabak termasuk makanan baru bagi masyarakat Indonesia. Para pedagang itu dibantu dengan penduduk pribumi untuk mempromosikan dagangannya dengan kata-kata “Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal.” Sejak saat itu, istilah halal behalal mulai meluas di tengah masyarakat Solo. 

Versi kedua dikemukakan oleh seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Abdul Wahab Hasbullah pada 1948. Saat itu, beliau memperkenalkan halalbihalal kepada Presiden ke-1 RI Sukarno sebagai wujud silaturahmi antarpemimpin politik yang sedang berkonflik. 

Atas saran Abdul Wahab, Bung Karno mengundang seluruh politikus ke Istana Negara pada Hari Raya Idulfitri 1948. Para tokoh politik duduk di satu meja untuk mulai menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah mulai mengadakan halalbihalal. 

Halalbihalal juga diyakini sudah ada sejak masa pemerintahan Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa. Kala itu, untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana setelah salat Idulfitri. 

Pada pertemuan itu, dilaksanakan tradisi sungkem atau saling memaafkan. Semua punggawa dan prajurit secara tertib melakukan sujud atau tanda bakti dan hormat kepada raja dan permaisuri. Kemudian, kegiatan itu dititu oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halalbihalal. 

Hikmah Halalbihalal

Dinukil dari Jurnal Studi Al-Quran (2018), terdapat nilai filosofis berupa usaha menjalin tali silaturahmi dan saling memaafkan antarsesama dalam tradisi halalbihalal. 

Upaya saling memaafkan dalam konteks halalbihalal ditunjukkan pada kata bi yang berarti dengan atau hubungan antarmanusia. 

Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan hubungan yang dimaksud juga antara manusia dengan Allah, serta dengan makhluk lain, seperti alam, tanah, air, hutan, dan lain-lain yang masih berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. 

Dengan adanya momentum halalbihalal, umat Islam selalu bermaaf-maafan dan berlapang dada yang diekspresikan dalam wujud berjabat tangan. Hal itu berarti terdapat suatu ajaran yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad sesuai dengan petunjuk Alquran dan hadis dalam kegiatan halalbihalal. 

Salah satu firman Allah yang menerangkan perintah saling memaafkan tertuang dalam Alquran Surah An-Nur ayat 22, artinya:

“Dan janganlah orang-orang yang memiliki kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberikan (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka jika Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

MELYNDA DWI PUSPITA 

Pilihan Editor: Memahami Arti Halalbihalal dan Silaturahmi, Sama Maknanya?