H+1 Lebaran, Sejarawan Kuliner Ungkap Awal Mula Kue Kering

Reporter

Editor

Dwi Arjanto

Ilustrasi kue lebaran. Wikimedia.org
Ilustrasi kue lebaran. Wikimedia.org

TEMPO.CO, Jakarta - Momen hari raya Idul Fitri alias Lebaran disambut dengan sukacita dan sarat akan tradisi. Salah satunya yakni masak dengan porsi besar serta menyediakan kudapan di atas meja seperti aneka kue kering.

Adapun makanan ringan yang sering kali ditemui adalah kue kering yang bervariasi mulai dari kastengel, putri salju, nastar, lidah kucing, dan lain sebagainya. Lantas, mengapa ada tradisi menyediakan kue kering saat lebaran?

Dijelaskan oleh Fadly Rahman, sejarawan kuliner di Universitas Padjajaran, bahwa kue kering dulunya diperkenalkan oleh Belanda pada masa kolonial. Saat itu, terjadi antar-mengantar makanan antara orang Eropa dengan para priyayi.

Orang Eropa mengantarkan makanan khas mereka, begitu juga dengan para pribumi. Hubungan itu dikarenakan banyak kepentingan politik, ekonomi, serta bisnis di antara mereka, sehingga hanya priyayi yang memiliki akses dengan orang-orang Eropa.

Tradisi antar-mengantar tersebut terjadi saat momen-momen tertentu. Momen yang dimaksud yaitu seperti perayaan Natal dan hari raya Idul Fitri.

Kue kering juga melambangkan akulturasi yang terjadi di Indonesia. Sebab pada mulanya, kue kering bukan seperti yang kita nikmati sekarang, melainkan terdapat berbagai perbedaan. Contohnya yaitu nastar yang saat ini kita kenal sebagai kue kering berbentuk bulat dan berisikan selai nanas. Di Eropa, nastar merupakan kue kering yang berisikan bluberi atau stoberi. Namun, Indonesia memiliki iklim tropis dan lebih mudah menggunakan nanas sebagai isian kue.

Selain nastar, ada juga kastengel yang telah menyesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Dikutip dari laman Indonesian Chef Association, kastengel aslinya berukuran 30 cm.

Akan tetapi, sulit menemukan oven sebesar itu di Indonesia sehingga kue andalan di Lebaran ini diubah menjadi lebih kecil.

VIOLA NADA HAFILDA
Baca : Lebaran, Sandiaga Prediksi Tingkat Kunjungan ke Desa Wisata Naik 40 Persen