Diinisiasi Muhammadiyah, Berikut Sejarah Pelaksanaan Salat Ied di Lapangan

Reporter

Editor

Nurhadi

Presiden Joko Widodo beserta keluarga dan sejumlah menteri Kabinet Kerja melaksanakan salat Idulfitri, 1 Syawal 1439 Hijriah, di Lapangan Astrid, Kebun Raya Bogor, 15 Juni 2018. TEMPO/Ahmad Faiz
Presiden Joko Widodo beserta keluarga dan sejumlah menteri Kabinet Kerja melaksanakan salat Idulfitri, 1 Syawal 1439 Hijriah, di Lapangan Astrid, Kebun Raya Bogor, 15 Juni 2018. TEMPO/Ahmad Faiz

TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu ibadah yang dilakukan saat Hari Raya Idul Fitri adalah Salat Ied. Uniknya, sebagian besar Umat Islam di Indonesia melaksanakan Salat Idul Fitri di lapangan. Ternyata, pelaksanaan Salat Ied di lapangan ini sudah dilaksanakan sejak dahulu dan memiliki sejarah panjang yang menyertainya.

Sebelumnya, pelaksanaan Salat Ied dilaksanakan di masjid dengan imam sebagai pemimpin ibadah ini. Melansir dari lama resmi Muhammadiyah, dikutip dari buku Gerakan Pembaruan (2010), pelaksanaan Salat Ied di lapangan pertama kali dilakukan oleh Muhammadiyah. Pada 1926, Muhammadiyah mempelopori Salat Ied di lapangan tepatnya di alun-alun utara Keraton Yogyakarta. Pengadaan Salat Ied di lapangan merupakan manifestasi atas Sunnah Rasullulah sekaligus upaya memberikan pemahaman atas umat muslim yang dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan sebelum wafat. 

Sementara itu, terdapat pendapat lain yang mengungkapkan bahwa penggunaan lapangan terbuka sebagai lokasi Salat Ied berawal dari kritikan seorang tamu dari India saat masa kepemimpinan Kiai Ibrahim pada 1923-1926. Tamu tersebut memprotes kepada Muhammadiyah perihal pelaksanaan Salat Ied di dalam Masjid Keraton Yogyakarta. Sebagai gerakan Tajdid (pencerahan), Muhammidah seharusnya melaksanakan Salat Ied baik Idul Fitri maupun Idul Adha di tanah lapang sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Pemilihan masjid sebagai lokasi Salat Ied Muhammadiyah merupakan bentuk penghormatan Sultan Hamengkubowono VII yang telah mengizinkan Kiai Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah melaksanakan perayaan hari besar Islam yang berbeda dengan Keraton. Pasalnya, Muhammadiyah menggunakan sistem hisab dan Kalender Hijriyah. Sementara Keraton memakai penanggalan tradisional Jawa atau Aboge sehingga terdapat perbedaan tanggal perayaan hari besar Islam.

Akhirnya, Muhammadiyah mulai melaksanakan Salat Ied di tanah lapang sesuai dengan keputusan Muktamar. Keberadaan Muktawar ini sekaligus menjadi titik awal  para ulama Muhammadiyah membentuk Majelis Tarjih guna membahas seputar peribadatan. Atas keputusan Muktamar 1926, berbagai konsul dan cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia  mulai rutin menggelar ibadah Salat Ied di tanah lapang di tahun-tahun berikutnya.

NAOMY A. NUGRAHENI

Baca juga: Mengapa Salat Idul Fitri Dilakukan di Lapangan Terbuka? Ini Alasannya