Sejarah dan Filosofi Ketupat, Makanan yang Identik dengan Lebaran

Warga berebut gunungan kupat (ketupat) berisi uang saat tradisi Grebeg Kupat di Dawung, Banjarnegoro, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, Rabu, 26 April 2023. Tradisi Grebeg Kupat rutin digelar warga setempat sebagai ungkapan sukacita dan ajang silaturahmi dalam merayakan Lebaran. ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Warga berebut gunungan kupat (ketupat) berisi uang saat tradisi Grebeg Kupat di Dawung, Banjarnegoro, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, Rabu, 26 April 2023. Tradisi Grebeg Kupat rutin digelar warga setempat sebagai ungkapan sukacita dan ajang silaturahmi dalam merayakan Lebaran. ANTARA FOTO/Anis Efizudin

TEMPO.CO, Jakarta - Lebaran sering kali dikaitkan dengan ketupat, hidangan khas Indonesia yang terbuat dari beras yang dibungkus dalam anyaman daun kelapa muda (janur) berbentuk segi empat dan kemudian direbus hingga matang.

Meskipun ketupat selalu menjadi hidangan khas Idul Fitri di Indonesia, tidak banyak yang mengetahui sejarah dan maknanya yang menarik. Menurut Hermanus Johannes de Graaf, sejarawan Belanda yang memfokuskan penelitiannya pada sejarah Jawa, ketupat diyakini pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa.

Sunan Kalijaga memperkenalkan tradisi ini untuk menyebarkan Islam, dengan mengajak masyarakat setempat menganyam ketupat dari daun kelapa muda dan mengisinya dengan beras setelah Ramadan berakhir dan Idul Fitri dirayakan. Meski pendapat ini populer, sebenarnya ketupat atau tipat sudah dikenal oleh masyarakat Jawa sebelum Islam masuk ke Indonesia.

Sebelum Islam, masyarakat Indonesia, terutama di Jawa dan Bali, sering menggantungkan ketupat di depan pintu rumah sebagai bentuk perlindungan. Ketupat juga melambangkan rasa syukur kepada Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan dalam mitologi Hindu. Setelah Islam masuk, tradisi Lebaran dan penggunaan ketupat dipisahkan dari tradisi pemujaan terhadap Dewi Sri.

Dalam tradisi Lebaran, ketupat tidak lagi digunakan untuk pemujaan Dewi Sri, melainkan sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan. Penggunaan ketupat sebagai hidangan perayaan tidak terbatas hanya di Pulau Jawa. Di berbagai daerah, terdapat tradisi unik seperti perang ketupat.

Misalnya, di Pulau Bangka, perang ketupat dilakukan saat Tahun Baru Islam atau 1 Muharam. Di Desa Kapal, Badung, Bali, perang ketupat dilakukan untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan. Di Lombok, perang ketupat dilakukan sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan panen dan menandai awal musim tanam.

Menurut penelitian De Graaf dalam bukunya yang berjudul Malay Annual, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah pada awal abad ke-15. De Graaf menduga bahwa kulit ketupat yang terbuat dari janur digunakan untuk menunjukkan identitas budaya pesisir yang didominasi oleh pohon kelapa.

Ketupat bukan hanya makanan yang disajikan untuk menyambut tamu saat Idul Fitri atau merayakan akhir puasa sunah selama enam hari pada bulan Syawal. Ketupat memiliki makna yang sangat mendalam. Nama "ketupat" atau "kupat" berasal dari bahasa Jawa "ngaku lepat" yang berarti mengakui kesalahan, yang disimbolkan oleh anyaman janur kuning yang berisi beras dan kemudian dimasak.

Beras yang dianyam janur melambangkan nafsu manusia. Beras yang diapit oleh janur memiliki makna bahwa manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya dengan hati nurani. Bagian lain dari ketupat juga memiliki makna simbolis. Anyaman janur melambangkan kesalahan manusia, sementara bentuk segi empat melambangkan kemenangan umat Islam setelah menjalani puasa selama satu bulan.

Butiran beras yang dibungkus dengan janur juga merupakan simbol dari kebersamaan dan kemakmuran. Penggunaan janur sebagai pembungkus memiliki makna tersendiri. Kata "janur" dalam bahasa Arab berasal dari "jaa a al-nur," yang berarti telah datang cahaya. Masyarakat Jawa mengartikan "janur" sebagai "sejatine nur" (cahaya). Dalam konteks yang lebih luas, hal ini menggambarkan keadaan suci manusia setelah mendapatkan pencerahan (iman) selama Ramadan.

Anyaman janur yang saling melekat juga mengajak untuk menjaga hubungan baik dan memperkuat persaudaraan tanpa memandang perbedaan sosial. Bagi sebagian masyarakat Jawa, bentuk segi empat ketupat memiliki makna "kiblat papat limo pancer," di mana "papat" diartikan sebagai simbol arah mata angin utama, yaitu Timur, Barat, Selatan, dan Utara. Hal ini mengingatkan manusia agar tidak melupakan arah kiblat dalam perjalanan hidupnya.

Ketupat sering disajikan dengan kuah santan yang diberi warna kuning keemasan dengan tambahan kunyit, melambangkan emas dan keberuntungan dalam tradisi Cina. Selain itu, santan atau "santen" dalam bahasa Jawa juga memiliki makna "nyuwun ngapunten," yang berarti memohon maaf.

Menariknya, ketupat di berbagai daerah memiliki sebutan tersendiri. Ketupat bagi masyarakat Jawa dan Sundah disebut sebagai ‘kupat.’ Masyarakat Minangkabau menyebut ketupat sebagai ‘katupek.’ Sementara di Bali, ketupat dikenal dengan nama 'tipat.'

Selain di Indonesia, sajian ketupat juga populer di negara-negara lain, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, hingga Brunei Darussalam. Seperti di Indonesia, ketupat menjadi hidangan yang banyak dijumpai ketika Idul Fitri tiba.

ANANDA BINTANG I  NAOMY A. NUGRAHENI  I  YAYUK WIDIYARTI

Pilihan Editor: 5 Masakan Ketupat yang Cocok Disajikan di Hari Raya Idul Fitri