Kolom: Puasa dan Pentas Keadilan

Reporter

Dr. KH. Muchotoh Hamzah, MM, Ketua Umum MUI Kabupaten Wonosobo. FOTO/Dok.Pribadi
Dr. KH. Muchotoh Hamzah, MM, Ketua Umum MUI Kabupaten Wonosobo. FOTO/Dok.Pribadi

Dr. KH. Muchotob Hamzah

Ketua MUI Kabupaten Wonosobo

Dalam hidup ini keadilan dan kezaliman silih berganti laksana roda. Ada celoteh di pinggir jalan: "Di dunia ini banyak kantor pengadilan, tetapi, kok, minim keadilan. Banyak fakultas hukum, tetapi, kok, terhimpit ketidakadilan. Pengadilan harus memproduksi ke-bijaksana-an, bukan ke-bejatsana-an". Kata mereka dengan kasar!

Adil yang semakna dengan "qisth" sering digandengkan dengan term "mizan" yang merupakan asas utama bangunan semesta (Arrahman: 6). Keadilan dimaknai sebagai "wadh'u syai'in fi mahallih" (meletakkan sesuatu pada tempatnya).

Adil memang bisa relatif dari sudut subyek maupun pengamat. Maka Khalifah Umar bin Khattab RA pernah berkata: "Al-'adlu qurbatun wa taqwa, adil adalah hasil pendekatan dan ketakwaan." Tentu maksud beliau, di samping keilmuan hukum.

Allah SWT selalu menekankan agar manusia berbuat adil meskipun kepada diri sendiri, kedua orang tua, atau keluarga (An-Nisa: 145), bahkan berbuat adil meskipun kepada orang yang dibenci (Al-Maidah: 8). Sebaliknya Allah SWT.selalu mengingatkan agar manusia menjauhi kezaliman alias ketidakadilan (Al-A'raf: 41; Maryam: 72; dan lainnya).

Prinsip dan eksekusi oleh Nabi SAW tentang keadilan yang didorong Al-Qur'an (An-Nisa: 135) itulah yang dikagumi presiden AS sehingga Nabi Muhammad dijadikan salah satu ikon prasasti penghargaan di Kejaksaan Agung AS (Supreme Court Building) era Presiden Franklin D. Rosevelt dan Jaksa Agung William Rehnquist di 1935.

Demikian juga ayat tersebut telah ditulis di dinding Universitas Harvard dengan tujuan yang sama. Pantaslah filosof Inggris, George Bernard Shaw, mengusulkan agar Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai "The Savior of Humanity" (penyelamat kemanusiaan).

Keadilan dipicu oleh empati yang lahir dari fitrah setiap anak manusia. Sebagai contoh, ketika anak manusia melihat sinetron dengan lakon "Tumbangnya Sang Diktator", si anak ini akan gembira. Ia tahu bahwa diktator adalah penghancur keadilan.

Sebaliknya jika lakon sinetronnya "Terbunuhnya Sang Pahlawan" ia akan kecewa. Keadaan jiwa semacam ini ada yang mendalilkan sebagai bukti bahwa akan adanya pengadilan Yang Maha Adil di kampung akhirat.

Memang empati terhadap perlakuan tidak adil ini datang dari fitrah setiap anak manusia. Akan tetapi bila diasah dengan shiyam (puasa) baik shiyam wajib di Ramadan maupun shiyam sunah, ia akan semakin tajam. Ketika anak manusia terasa lapar dan haus, akan banyak pengalaman hidup yang dapat dijadikan pembelajaran dalam hal keadilan.

Ada episode yang menarik ketika Khalifah Umar Bin Khatthab RA melakukan operasi pasar karena langkanya "minyak samin". Kelangkaan ini membuat ada orang yang berani membeli dengan harga dua atau tiga kali lipat.

Sesampainya di rumah, Umar mengetahui jika keluarganya masih memiliki minyak samin satu liter. Umar lalu menuang minyak samin itu di atas lantai. Ketika ditanya oleh isterinya mengapa berbuat tabdzir, beliau menjawab: "Aku terima jabatan ini bukan untuk hidup bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. Kesejahteraan rakyat harus didahulukan".

Itulah sebabnya, ketika pemimpin Persia, Hormuzan, mau menemui Khalifah Umar Bin Khatthab sedang tidur di masjid tanpa pengawal, ia pun bergumam: "Dia telah berbuat adil, jadilah ia tenang hidupnya tanpa pengawal".

Episode yang lain, Khalifah Ali bin Abi Thalib kehilangan baju besi. Beliau tahu baju besi itu ada di tangan tetangganya yang Yahudi.

Ketika dilaporkan kepada Qadhi Syuraih dan disidang, beliau ditanya: "Jika si Yahudi yang mencuri, apakah khalifah mempunyai saksi?"

"Ya, ada. Saksinya Anakku Hasan," kata Khalifah.

Karena itu, Qadhi Syuraih lalu menvonis, bahwa kesaksian ini batal. Maka kalahlah khalifah dalam persidangan tersebut. Akhirnya si Yahudi jadi muallaf karena kagum terhadap keadilan Islam dan keharuannya terhadap keadilan Qadhi muslim ini. Dan baju besi itu diserahkan kepada khalifah sembari memohon maaf kepadanya.

Lalu, bisakah shiyam (puasa) kita berbuah keadilan? Semoga.

Baca juga: Mengapa Ada Takbiran di Malam Terakhir Bulan Ramadan?