Warak Ngendog dan Dugderan, Tradisi Menjelang Bulan Ramadan di Semarang

Reporter

Sejumlah warga mengarak replika hewan imajiner Warak Ngendog yang menjadi maskot dalam prosesi Kirab Dugderan di kompleks Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Semarang, 25 Mei 2017. Prosesi Dugderan untuk menyambut Ramadan telah berlangsung sejak 1881. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Sejumlah warga mengarak replika hewan imajiner Warak Ngendog yang menjadi maskot dalam prosesi Kirab Dugderan di kompleks Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Semarang, 25 Mei 2017. Prosesi Dugderan untuk menyambut Ramadan telah berlangsung sejak 1881. ANTARA/Aditya Pradana Putra

TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu tradisi unik di Kota Semarang menjelang datangnya bulan Ramadan yaitu dugderan. Perayaan ini memiliki ikon unik bernama ‘warak ngendog’, yang berbentuk hewan berkaki empat. Para warga Semarang sangat antusias menyambut tradisi dugderan tiap tahunnya. 

Melansir dari bpad.jogjaprov.go.id, nama dugderan berasal dari kata ‘dugder’ yang merupakan gabungan dari dua kata, yaitu ‘dug’ (bunyi bedug yang ditabuh)’ dan ‘der’ (bunyi tembakan meriam). Bunyi dugder melambangkan bahwa akan datangnya awal Ramadan. Sebagaimana dijelaskan dalam ppid.semarangkota.go.id, tradisi dugderan sudah dimulai pada 1881, tepatnya saat masa pemerintahan Bupati Semarang yaitu Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat.

Latar belakang munculnya tradisi ini karena perbedaan pendapat masyarakat mengenai kesepakatan awal dimulainya puasa di bulan suci Ramadan. Kemudian, dicapailah sebuah kesepakatan guna menyamakan persepsi masyarakat dalam menentukan awal Ramadan, yaitu melalui tabuhan bedug di Masjid Agung Kauman dan meriam di halaman kabupaten. Bedug dan meriam dibunyikan masing-masing tiga kali dan dilanjutkan dengan pengumuman awal puasa di masjid.

Sejak saat itu, tradsi dugderan berlangsung secara turun-temurun. Umumnya, dugderan dilaksanakan sehari sebelum menjelang bulan puasa di Kota Semarang. Tradisi dugderan berlangsung di depan halaman masjid besar Semarang atau kauman pada hari terakhir bulan Sya’ban.

Ada kisah unik perihal meriam yang dibunyikan pada tradisi dugderan. Pada awalnya, bunyi meriam ‘der’ berasal dari petugas Hindia Belanda (VOC). Petugas VOC diminta  membunyikan meriam dibarengi dengan suara bedug. Akhirnya, bunyi bedug dan meriam menjadi perpaduan indah dan penuh kemeriahan.

Mengutip digilib.isi.ac.id, ikon unik dari pelaksanaan dugderan yaitu keberadaan warak ngendog. Sejatinya, warak ngendog merupakan seni kerajinan masyarakat Semarang berupa permainan anak-anak yang dijual saat pasar malam dugderan. Warak ngendog terbuat dari bahan-bahan seperti kayu, kertas minyak warna-warni, bambu, kertas karton, dan lain-lain.

Bahan-bahan itu lalu dibentuk menyerupai binatang dengan mata tajam, mulut terbuka lebar dan gigi tajam, terdapat tanduk, berkaki empat lurus, leher panjang, serta memiliki bulu keriting di seluruh tubuhnya. 

NAOMY A. NUGRAHENI 

Baca: Dugderan Penanda Ramadan di Semarang Akan Digelar Sederhana

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.