Dugderan Penanda Ramadan di Semarang Akan Digelar Sederhana

Reporter

Peserta pawai Dugderan berkostum Punokawan sambil memberikan pesan untuk memperbanyak amal ibadah di bulan Ramadhan, saat melintasi  Jalan Pahlawan, Semarang, 14 Mei 2018. Pawai Dugderan merupakan pawai tradisional menyambut datangnya bulan Ramadhan. (Budi Purwanto)
Peserta pawai Dugderan berkostum Punokawan sambil memberikan pesan untuk memperbanyak amal ibadah di bulan Ramadhan, saat melintasi Jalan Pahlawan, Semarang, 14 Mei 2018. Pawai Dugderan merupakan pawai tradisional menyambut datangnya bulan Ramadhan. (Budi Purwanto)

TEMPO.CO, Jakarta - Wali Kota Semarang Jawa Tengah Hendrar Prihadi mengatakan tradisi Dugderan yang menjadi penanda awal Ramadan akan tetap digelar. Namun konsepnya lebih sederhana di tengah pandemi virus corona Covid-19.

"Dugderan harus tetap ada sebagai penanda awal Ramadhan, namun konsep acara akan berubah," kata Wali Kota yang akrab disapa Hendi ini di Semarang, Rabu, 15 April 2020.

Pada Ramadan sebelumnya, dugderan digelar dengan karnaval dan pasar. Kata dug dan der menggambarkan sejarah munculnya dug-deran dengan membunyikan meriam dan petasan pada 1811 sejak era Bupati Kiai Raden Mas Tumenggung.

Menurut Hendi, salah satu konsep yang berubah, tidak akan ada arak-arakan maupun kegiatan yang melibatkan banyak orang.

Menurut dia, kegiatan yang sudah menjadi tradisi tersebut akan didesain seminimal mungkin sesuai dengan protokol kesehatan.

Saat memasuki Ramadhan nanti, ia juga mendorong peran masjid untuk ikut dalam upaya pencegahan virus corona.

Selain melantunkan doa-doa, ia juga mengharapkan pengeras-pengeras suara masjid juga menyampaikan imbauan tentang upaya mencegah penyebaran COVID-19.

"Sampaikan imbauan agar tetap di rumah. Kalau memang harus keluar rumah maka diwajibkan memakai masker," katanya.

ANTARA