Adab Menjamu Tamu dalam Islam, Berikut Kisah Inspirasi Mengharukan

Reporter

Ilustrasi silaturahmi Idul Fitri di tengah pandemi virus Corona. Shutterstock
Ilustrasi silaturahmi Idul Fitri di tengah pandemi virus Corona. Shutterstock

TEMPO.CO, Jakarta - Dalam Islam menjamu tamu merupakan amalan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW sebab memiki kedudukan yang sangat terhormat. Selain itu, menjamu tamu juga menjadi suatu pertanda bagaimana tingkat keimanan seseorang kepada Allah SWT.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang berbunyi, " Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” (HR. al Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis tersebut jelas disebutkan bahwa keimanan seseorang dapat terlihat saat ia memuliakan tetanga atau tamu yang datang kerumahnya. Semakin baik ia menerima tamunya maka baiklah keimanan orang tersebut. Bahkan sebaliknya semakin buruk ia menerima tamunya maka buruk jugalah keimanannya.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Al-Hasyr ayat 9 yang artinya: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.

Asbabul nuzul diturunkannya ayat tersebut, bersamaan dengan kisah yang terjadi di masa Rasulullah SAW dahulu. Ketika Rasul dan para sahabat menang dalam perang Khaibar, maka datanglah seorang anak laki-laki dari kalangan Muhajirin menghadap Nabi Muhammad untuk bertemu, maka dengan cepat Rasulullah SAW langsung mendatangi para istrinya untuk menyiapkan jamuan kepada tamu yang baru datang tersebut. Akan tetapi pada saat para istri Rasulullah SAW mengatakan bahwasanya mereka tidak memiliki apa-apa kecuali air untuk diminum.

Melihat keadaan tersebut, Rasulullah SAW akhirnya menanyakan kepada para sahabat, " Siapa yang sanggup menjamu tamuku ini?"

Maka datanglah Abu Thalhah Zaid yang siap menjamu tamu Rasul tersebut. Dan berkata "saya siap menjamu tamu tersebut ya Rasul”. Setelah itu, ia pun pulang ke rumahnya dan menanyakan kepada istrinya apakah ada makanan yang bisa disuguhkan untuk tamu Rasul tersebut.

Namun dengan berat hati sang istri mengatakan sesungguhnya saat itu mereka tiada makanan kecuali sisa makan malam untuk anak-anak mereka nanti.

Mendengar hal tersebut, maka Abu Thalhah Zaid mengatakan kepada istrinya agar mempersiapkan sisa makanan yang ada tersebut dan meminta kepada istrinya agar mematikan lampu yang menerangi rumahnya di malam itu serta menidurkan anak-anak mereka ketika hendak makan.

Sang istri pun akhirnya melakukan apa yang diperintahkan oleh sang suami dan segera menyiapkan makanan yang tersisa. Dengan keadaan yang begitu gelap keduanya menjamu tamu tersebut bahkan mereka berdua menemani tamu tersebut untuk makan. Dan berpura-pura menyantap makanan dengan membunyikan peralatan makan agar sang tamu tidak terlalu mencurigai.

Maka, hal yang demikian itu tidaklah luput dari pandangan Allah SWT yang maha mengetahui dan maha bijaksana. Sehingga pada keesokan harinya, ketika Abu Thalhah bertemu Nabi Muhammad, beliau berkata kepada Zaid, “Wahai Zaid Allah sangatlah bangga dan ridha dengan apa yang telah kamu lakukan semalam”.

Dari kisah tersebut, tentunya menjadi iktibar bagi kita bagaimana sebaiknya adab dan tatakrama dalam menjamu tamu, karena sesungguhnya tamu bukanlah membawa musibah namun membawa keberkahan.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Tamu datang dengan membawa rezekinya dan pergi dengan menghapus dosa-dosa kalian, dan Allah SWT menghapus dari dosanya dan dosa-dosa kalian,” (HR Abu Syaikh).

SABAR ALIANSYAH PANJAITAN 

Baca: Adab Memuliakan Tamu dalam Ajaran Islam