Arsitektur Masjid Raya Medan Perpaduan Maroko, Eropa, Timur Tengah dan Melayu

Reporter

Petugas menyiapkan bilik semprot disinfektan untuk para jmaah melaksanakan salat Idul Fitri (Id),  di Masjid Raya Al Mashun Medan, Sumatera Utara, Sabtu, 23 Mei 2020. Jemaah diwajibkan memakai masker, mencuci tangan, membawa sejadah masing-masing serta menjaga jarak terkait pandemi virus COVID-19. ANTARA/Septianda Perdana
Petugas menyiapkan bilik semprot disinfektan untuk para jmaah melaksanakan salat Idul Fitri (Id), di Masjid Raya Al Mashun Medan, Sumatera Utara, Sabtu, 23 Mei 2020. Jemaah diwajibkan memakai masker, mencuci tangan, membawa sejadah masing-masing serta menjaga jarak terkait pandemi virus COVID-19. ANTARA/Septianda Perdana

TEMPO.CO, Jakarta - Bagi Anda yang ingin menyaksikan masjid yang dibangun dengan gaya arsitektur perpaduan antara Maroko, Eropa, Timur Tengah dan Melayu, berkunjunglah ke Masjid Raya Al Mashun atau Masjid Raya Medan. Masjid yang pembangunannya dipimpin oleh Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam sebagai pemimpin Kesultanan Deli ini dibangun pada 12 Agustus 1906 dan rampung pada 10 September 1909 lalu.

Masjid Raya Medan atau Grand Mosque of Medan ini mulanya diarsitekturi oleh Van Erp, arsitek asal Belanda, lalu kemudian proses pembuatannya dikerjakan oleh JA Tigdeman. Van Erp tidak dapat meneruskan pekerjaannya sebab saat itu ia dipanggil oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses pemulihan Candi Borobudur di Jawa Tengah.

JA Tingdeman inilah yang merancang bangunan masjid dengan denah segi delapan yang simetris dalam corak bangunan dari berbagai negara tersebut. Bukan hanya soal arsitektur, bahan pembangunan Masjid Raya Al Mashun juga sebagian di datangkan dari luar negeri, seperti marmer dari Italia dan Jerman, kaca patri dari Tiongkok, serta lampu gantung yang didatangkan langsung dari Prancis.

Tak heran bila pembangunan Masjid Raya Medan ini menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden, sebab Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alam memang dengan sengaja membangun masjid di lingkungan istana ini dengan megah, bahkan lebih megah dari pada Istana Maimun sendiri. Biaya satu juta Gulden tersebut ditanggung sendiri oleh Sultan Ma’mun, namun konon tokoh Medan dari etnis Tionghoa, Tjong A Fie juga turut membantu mendanai pembangunan Masjid Raya Medan.

Denah segi delapan rancangan Ja Tingdeman menciptakan ruang masjid yang unik dan berbeda dari masjid-masjid kebanyakan di Tanah Air. Ciri khas arsitektur bangunan masjid ini yaitu di empat penjuru masjid terdapat beranda dengan atap tinggi berkubang warna hitam, mengawal kubah utama masjid. Pintu utama terdapat di keempat beranda tersebut dengan tangga penghubung antara lantai masjid yang tinggi dengan pelataran.

Sementara bangunan masjidnya dibagi menjadi ruang utama, tempat wudu, gerbang masuk, serta menara. Ruang utama merupakan tempat salat berbentuk persegi delapan tidak sama sisi. Terdapat jendela yang terbuat dari kayu dengan kaca patri berharga, sisa peninggalan Art Nouveau 1890-1914 yang mengelilingi pintu beranda. Masjid Raya Medan dihiasi dengan ornamen bunga dan tumbuhan, baik itu di dinding, tiang-tiang masjid, plafon maupun di bagian lainnya.

Pada bagian luar segi delapan masjid, pada keempat sisinya terdapat gang yang mengelilingi ruang utama. Keempat gang ini memiliki jendela tak berdaun dengan bentuk lengkungan yang didirikan di atas balok, desain tersebut mengingatkan akan arsitektur bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol abad pertengahan.

Untuk arsitektur kubahnya, Masjid Raya Medan mengikuti model masjid-masjid di Turki dengan ciri khas bentuk patah-patah segi delapan, kubah ini disangga delapan pilar utama berdiameter 60 sentimeter di tengah masjid. Empat kubah yang menemani kubah utama, juga identik dengan Masjid Raya Banda Aceh. Mihrab masjid Raya Medan terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing, sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran, dan Arab.

HENDRIK KHOIRUL MUHID 

Baca: Ketahui 8 Level Masjid di Indonesia Beda masjid Raya dan Masjid Agung