Masjid Berarsitektur Klenteng untuk Pembauran di Bandung  

Arsitektur unik Masjid Al Imtizaj di area eks penjara Banceuy, Jalan ABC, Bandung, Jawa Barat, 1 Juni 2017. Masjid bergaya kelenteng ini bisa disebut juga masjid Ronghe atau masjid Pembauran. TEMPO/Prima Mulia
Arsitektur unik Masjid Al Imtizaj di area eks penjara Banceuy, Jalan ABC, Bandung, Jawa Barat, 1 Juni 2017. Masjid bergaya kelenteng ini bisa disebut juga masjid Ronghe atau masjid Pembauran. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Bandung - Masjid di Indonesia umumnya bergaya arsitektur Timur Tengah. Namun di Bandung ada sebuah masjid yang tergolong nyentrik. Wujud bangunannya seperti klenteng, tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa. Nuansa bangunan Tionghoa di masjid bernama Al-Imtizaj itu lebih kental dan mencolok mata dibanding, misalnya, Masjid Lautze di Jalan Tamblong, Bandung.

Kata Al-Imtizaj juga tak lazim dipakai orang sebagai nama masjid. Menurut Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Al-Imtizaj Muhammad Yahya Azlani, nama tersebut merupakan nama lain dari kata ronghe dalam bahasa Cina. “Artinya pembauran,” katanya. Para mualaf keturunan Tionghoa di Bandung dan mantan Gubernur Jawa Barat, Nuriana, mendirikan masjid itu pada 2010.

Masjid ini berada di sisi Jalan ABC. Wujud mungilnya menempel di sisi kiri sebuah bangunan bekas pertokoan Rumah Matahari. “Idenya waktu itu karena masjid di pertokoan hampir tidak ada,” ujarnya. Masjid berkapasitas sekitar 200 orang itu diresmikan pada 6 Agustus 2010.

Pendirian masjid memang dirancang sebagai upaya pembauran. Saat itu, muncul beberapa komunitas muslim Tionghoa di Bandung, antara lain Persatuan Islam Tionghoa Islam (PITI), Keluarga Persaudaraan Islam (KPI), dan Yayasan Ukhuwah Mualaf Indonesia (YUMI). Mereka kemudian melebur dalam organisasi Ikatan Persaudaraan Tionghoa Islam (IPTI). Masjid rancangan Danny Suwardhani ini juga diharapkan bisa menjadi simbol keberagaman dan persatuan.

Tidak hanya dibuka untuk umum, Al-Imtizaj juga berfungsi mewadahi para mualaf keturunan Tionghoa, sama seperti Masjid Lautze. Mereka belajar mengaji, agama Islam, salat, serta berkegiatan bersama dengan jemaah lain. “Masjid ini sifatnya seperti tempat transit. Kegiatan utama di masjid induk, yaitu di Masjid Raya Bandung,” ucapnya.

Nuansa klenteng sangat terasa dari paduan warna merah hati dan kuning mentega yang menempel, mulai eksterior berupa pagar hingga gerbang kecil beratap genteng. Berpintu oval seperti telur unggas, plang nama masjid dan kubah emas di atasnya menandakan bahwa itu merupakan tempat ibadah umat muslim. Lampion-lampion berwarna merah dan kuning perlambang kemakmuran juga bergelantungan di bawah atap sisi masjid. “Salah satu tempat unik yang menjadi persinggahanku,” kata seorang warga, Khalil Ahmad.

Dari gerbang, pengunjung harus menuruni anak tangga berlantai keramik. Ruangan tempat wudu berada di sisi kiri. Ada pula keran yang dipasang di tempat terbuka. Salah satunya berbentuk cawan emas yang juga berfungsi sebagai pot besar yang ditumbuhi tanaman. Di dalam masjid, sekujur dinding dan pilarnya juga berwarna kuning dan merah, termasuk mihrab. Warna hijau menjadi nuansa lain pada hamparan barisan permadani.

Selain pelintas, Masjid Al-Imtizaj menjadi tempat salat harian dan salat Jumat bagi karyawan kantor sekitar dan pedagang Pasar Banceuy. Meski tidak ada kegiatan khusus selama Ramadan karena acara dipusatkan di Masjid Raya Bandung, masjid dua lantai itu tetap ramai oleh jemaah yang mengikuti salat tarawih.

ANWAR SISWADI