Dandangan, Tradisi Menyambut Puasa Peninggalan Sunan Kudus

Masjid Menara Kudus di Desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah. ANTARA/Yusuf Nugroho
Masjid Menara Kudus di Desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah. ANTARA/Yusuf Nugroho

TEMPO.CO, Kudus - Jalan sepanjang 1,5 kilometer itu penuh oleh pedagang yang menjual aneka macam barang mulai dari makanan, produk kerajinan hingga pakaian. Tidak seperti pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar, ratusan pedagang itu justru dengan leluasa menjajakan jualannya di tengah jalan.  Tersisa ruang dua meter di sisi kanan dan kiri jalan untuk jalur kendaraan bermotor.

Pasar kaget di Jalan Sunan Kudus yang terletak di depan Masjid Menara Kudus ini merupakan tradisi masyarakat Kudus yang sudah berlangsung ratusan tahun. Mereka menamakannya dengan Dandangan. Kegiatan ini digelar sepuluh hari menjelang bulan Ramadan. Tahun ini, Dandangan dimulai pada 27 Mei lalu.

Denny Nur Hakim, juru bicara Yayasan Masjid Menara Kudus, menjelaskan sejarah Dandangan berasal dari suara bedug yang ditabuh, sekaligus menandakan dimulainya bulan Ramadan. Oleh masyarakat sekitar, tradisi tabuhan bedug itu lebih dikenal dengan nama Dandangan. “Suaranya Dang! Dang! Dang! Kalau bedug itu kan yang ditengah suaranya dang-dang, kalau pinggiran duk-duk,” katanya Ahad, 5 Mei 2016.

Dahulu pengumuman 1 Ramadan dipimpin langsung oleh Sunan Kudus. Ia dipercaya memiliki ilmu falak yang mumpuni oleh masyarakat Kudus saat itu. Salah satu ulama Wali Songo yang hidup pada abad 16 itu membacakannya di pelataran menara Kudus. Pengumuman itu ditandai dengan tabuhan bedug. “Bedug dilakukan dua kali. Pertama, untuk mengumpulkan masyarakat. Kedua, memutuskan sekaligus membuka awal Ramadhan. Dilakukan setelah shalat isya,” jelasnya.

Pengumuman dimulainya puasa itu juga dihadiri oleh murid-murid Sunan Kudus, seperti Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak, Sultan Hadirin dari Jepara, hingga Aryo Penangsang dari Blora datang ke Kudus. Masyarakat dari luar Kudus, juga antusias menunggu berlama-lama di depan Masjid Menara Kudus.

Menurut Denny, tradisi berkumpul di depan masjid jelang Ramadan itu kemudian menjadi tradisi. Beberapa warga ada yang berjualan makanan tradisional siap saji. Aktivitas di pasar berlangsung mulai subuh hingga siang hari. Dilanjutkan berjualan makanan pada sisi timur jalan depan masjid, mulai dari sore hingga kembali subuh. Kegiatan ini berlangsung hanya sehari. “Saya belum bisa melacak, kegiatan perdagangan tersebut murni inisiatif masyarakat atau berasal dari perintah Sunan Kudus,” katanya.

Oleh masyarakat Kudus, prosesi Dandangan ini menjadi penanda memasuki bulan Ramadan. Semula, para pedagang yang ikut Dandangan di depan masjid hanya menjual aneka makanan tradisional. Memasuki tahun 1980-an, jumlah pedagang semakin bertambah. Tidak hanya menjual makanan saja, tapi juga menjajakan pakaian.

Para pedagang itu tidak hanya berasal dari Kudus melainkan datang dari daerah-daerah lain seperti Jepara, Pati, Rembang. Melihat besarnya potensi ekonomi dari pasar Dandangan ini, Pemerintah Kabupaten Kudus kemudian mengambil alih pengelolaan tradisi. Salah satu ciri khas dagangan di Dandangan adalah kreweng, sejenis kerajinan tanah liat. Disini, pembeli bisa memperoleh kreweng seharga Rp 1.500  dengan berbagai pilihan warna yang menarik.

IQBAL | BETRIQ KINDY ARRAZY