Pengrajin Curhat, Kenapa Seni Kaligrafi Islam Tergerus

Pekerja menyelesaikan pesanan kaligrafi dari bahan jarum pentul dan benang di salah satu rumah industri di Surabaya, Jawa Timur, 16 Juni 2015. ANTARA/Herman Dewantoro
Pekerja menyelesaikan pesanan kaligrafi dari bahan jarum pentul dan benang di salah satu rumah industri di Surabaya, Jawa Timur, 16 Juni 2015. ANTARA/Herman Dewantoro

TEMPO.CO, Karawang  - Seni kaligrafi Islam sebetulnya banyak diminati masyakarat. Namun, belakangan mulai lesu, karena karya-karya banyak yang monoton, serta yang pasaran. "Karena sudah masuk era digital," kata pengrajin kaligrafi Islam di Karawang, Asep Yunus Ashidiqie, 34 tahun, Selasa 17 Juni 2015.

Pria yang menekuni seni kaligrafi sejak 13 tahun lalu ini, mengaku hapal perkembangan ihwal seni tersebut. Menurut dia, sejak tiga tahun lalu mulai banyak bermunculan seni kaligrafi Islam yang instan. Misalnya dengan cara menyablon. "Kalau saya murni karya tangan," kata pria tiga anak ini.

Ia mengatakan, bagi yang paham tentang seni kaligrafi Islam, pengrajin bakal menetapkan standar baku internasional. Namun, belakangan banyak pengrajin yang mengabaikan standar tersebut, karena tak mengerti. "Hanya bisa nulis saja," kata pemimpin Sanggar Kaligrafi Al-Huda ini.

Ia mencontohkan, tulisan klaigrafi yang memiliki standar internasional ialah terdapat bacaan; sulusi, nasahi, diwani, diwani jali, farisi, rikei, dan khufi. "Kalau yang paham kaligrafi pasti tahu," kata dia. "Pembeli yang paham juga akan memilih standar internasional."

Selama 13 tahun menekuni, pria yang latar belakangnya pelukis ini mengatakan, karyanya sudah menyebar ke manca negera. Karya-karya itu ia pasarkan melalui galerinya di Malayasia. "Sampai ke Dubai," kata suami dari Novitria Tumpekawati, 39 tahun.

Ia mengatakan, ada dua jenis metode membuat kaligrafi yang ia tekuni. Yaitu, teknik jel dan pasta keramik. Adapun, bahan-bahannya yang dibutuhkan seperti kanvas, pasta keramik, lilin, cat minyak dan air, dan, akrilik medium blos. Selain itu, ia juga menekuni kaligrafi absrak. Semuanya kata dia, dilukis. "Kalau lagi banyak pesanan, dalam sehari bisa menyelesaikan sepuluh kaligrafi," kata dia.

Ia menambahkan, kaligrafi yang ia tekuni lebih sulit dibanding yang digital atau instan seperti sablon. Industri tersebut dalam sehari bisa mencetak hingga puluhan. "Kalau saya sepuluh sudah maksimal, apalagi yang abstrak, jauh lebih sulit," ujar dia.

Ia mulai mengawali profesinya membuat kaliografi di sejumlah masjid di Karawang. Ia menerima pesanan dari sejumlah pengurus masjid. Ia kemudian mengembangkan di rumahnya, setelah cukup banyak pelanggan, ia kemudian membuka galeri di Malaysia.

ADI WARSONO