Meugang, Tradisi Menyambut Ramadan di Bumi Serambi Mekkah  

Warga kota Banda Aceh menikmati suasana pantai Selat Malaka ketika menunggu waktu berbuka puasa di Gampong Deah Raya, Kec. Syiah Kuala, Banda Aceh, Minggu (22/7). ANTARA/Irwansyah Putra
Warga kota Banda Aceh menikmati suasana pantai Selat Malaka ketika menunggu waktu berbuka puasa di Gampong Deah Raya, Kec. Syiah Kuala, Banda Aceh, Minggu (22/7). ANTARA/Irwansyah Putra

TEMPO.CO , Banda Aceh: Selepas sarapan, Ahmad memacu motornya menuju pasar Ulee Kareng, Banda Aceh, Selasa 16 Juni 2015. Ada aktivitas lain yang tak biasa, pasar lebih ramai dengan lapak-lapak penjual daging di pinggir jalan di depan toko-toko penjual aneka kebutuhan.

Ahmad menghampiri beberapa lapak, menawar daging sapi untuk dibeli. Cocok harga, Ahmad membeli dua kilogram. “Lebih mahal dari hari biasa, sekilonya Rp 130 ribu.” .

Biasanya harga daging pada kisaran Rp 80 ribu sampai Rp 100 ribu, tapi Ahmad tak mempersoalkannya. “Hari ini meugang, dan ini tradisi,” tegasnya.

Usai membeli daging, dia membeli bumbu, dan seabrek bahan lainnya untuk dibawa pulang. Di rumah, sang istri menunggu untuk memasak dan memakan bersama keluarga.

Meugang adalah tradisi di Aceh. Tradisi ini biasanya dirayakan pada satu atau dua hari menjelang bulan suci Ramadan. Selain menyambut Ramadan, juga diperingati saat menyambut hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Tak heran, banyak lapak daging dadakan muncul di sudut-sudut pasar. Di Banda Aceh, penjual daging bertebaran di kecamatan dan kampung; Ulee Kareng, Darussalam, Peunayong, Beurawe, Setui dan lainnya. Pagi, biasanya jalanan lowong dan keramaian berpusat di pasar.

LIHAT: JADWAL IMSAK DAN SHOLAT RAMADAN 2015

Pemerhati sejarah Aceh, Tarmizi A Hamid mengatakan bagi masyarakat Aceh, meugang tanpa membeli daging belum lengkap. Meski harga melonjak drastis saat meugang, lapak penjual daging tetap dikerumuni pembeli. Orang kaya biasanya membeli daging dalam jumlah banyak, kemudian membagikan kepada anak yatim atau tetangganya yang miskin.

Menurutnya, meugang menjadi tradisi sejak dahulu kala, sebagai kebiasaan makan daging bersama keluarga atau kelompok masyarakat. “Untuk menyambut Ramadan maupun hari raya dengan sukacita,” ujarnya.

Tarmizi menambahkan, meugang tercatat dalam Qanun Al Asyi (Qanun Meukuta Alam) yang diterbitkan pada masa Kesultanan Aceh. Disebutkan dalam isi kitab itu, Sultan Aceh secara turun temurun memerintahkan Qadi Mua'zzam Khazanah Balai Silatur Rahmi untuk mengambil dirham, kain-kain, kerbau dan sapi dipotong di hari Meugang.

Selajutnya, dagingnya dibagikan kepada kepada fakir miskin, dhuafa, orang lansa, buta. Selain daging, Sultan juga membagi uang dan kain enam hasta. Hadiah itu dibagikan oleh kepala desa (keuchik) di tempat masing-masing. “Sultan Aceh mmberi bantuannya kepada rakyatnya yang selalu dicintai,” sebut Tarmizi mengutip kitab masa kesultanan Aceh dipimpin oleh Iskandar Muda (1607-1636 M).

Tradisi meugang itulah yang bertahan di Aceh hingga kini. Makan daging menyambut Ramadan.

ADI WARSIDI