Keunikan Masjid Agung di Cianjur

Editor

Nur Haryanto

Ilustrasi masjid. REUTERS/Amr Abdallah Dalsh
Ilustrasi masjid. REUTERS/Amr Abdallah Dalsh

TEMPO.CO, Jakarta - Masjid yang berada di pusat Kota Cianjur ini dibangun pada 1810, di atas tanah wakaf Ny. Raden Bodedar binti Kangjeng Dalem Sabiruddin, Bupati Cianjur ke- 4. Desain arsitekturnya memadukan gaya dan ciri khas masjid tempo dulu dan modern.

Masjid yang mampu menampung sekitar 4.000 jamaah ini diakui sebagai masjid terbaik tingkat kabupaten di Jawa Barat, meskipun usianya sudah ratusan tahun. Dari atas dua menara tinggi yang dimiliki masjid ini, dapat melihat pemandangan kota Cianjur dengan leluasa.

Semula ukurannya sangat kecil. Sekitar tahun 1820, pertamakali dilakukan perbaikan dan peluasan, sehingga ukurannya menjadi 20 x 20 meter persegi atau seluas 400 meter persegi. Perbaikan dan perluasan dilakukan oleh Penghulu Gede, Raden Muhammad Hoesein Bin Syekh Abdullah Rifai Penghulu Agung Pertama (I). Ia adalah cucu Dalem Sabirudin, sedangkan Syekh Abdullah Rifai, ayah Muhammad Hoesein berdarah Arab dan Banten dari keturunan Bayu Suryaningrat.

Hingga saat ini, Masjid Agung Cianjur tercatat sudah tujuh kali mengalami perbaikan. Perbaikan total yang menghabiskan biaya Rp 7,5 miliar, pelaksanaannya mulai 2 Agustus 1993 sampai 1 Januari 1998.

Pada peristiwa meletusnya Gunung Gede tahun 1879, Masjid Agung Cianjur tak luput terkena letusan Gunung Gede, sehingga masjid ini rusak porak poranda. Bahkan pada saat itu, seorang ulama ikut gugur, yaitu RH Idris Bin RH Muhyi (ayahnya KRH Muhammad Nuh, seorang ulama besar Cianjur), yang waktu itu, bertempat tinggal di Kampung Kaum Kidul.

Pada 1880, masjid ini dibangun kembali oleh RH Soelaeman, waktu itu ia sebagai Penghulu Agung dan RH Ma'mun Bin RH Hoesein yang lebih dikenal dengan nama panggilan Juragan Guru Waas, yang dibantu oleh masyarakat Cianjur.

Masjid Agung mengalami perubahan bentuk dan dilakukan kembali perluasan bangunannya. Sehingga luasnya mencapai 1.030 meter persegi. Pada 1912, ketika masjid berusia 32 tahun, kembali dilakukan perbaikan dan perluasan di antaranya oleh RH Moch Said Penghulu Agung Cianjur, Isa al-Cholid salah seorang guru thorekat, RH Tolhah Bin RH Ein al-Cholid dan H Akiya Bin Darham, penduduk Cianjur keturunan Kudus.

Sepanjang 1950 hingga 1974, bentuk arsitekturnya hampir tetap sama, yaitu bentuk atap segi empat. Di tengah-tengah bagian atas atapnya terdapat satu menara besar tunggal atau kubah yang dilapisi seng besi dengan cat putih. Di atas kubah terdapat lambang bulan sabit. Dulu, Masjid Agung Cianjur terkenal dengan alunan suara adzannya yang sangat merdu yang berkumandang dari atas menara dengan langgam yang khas.

TIM TEMPO