Rasa Khas Ie Bu Peudah

TEMPO/Adi Warsidi
TEMPO/Adi Warsidi

TEMPO Interaktif, Banda Aceh  - Azan salat asar belum berkumandang saat lima pemuda sibuk mengolah bahan dan memasak di dapur khusus meunasah (surau) di Desa Bueng Bak Jok, Kecamatan Kutabaro, Aceh Besar, pekan lalu. Api terus menyala pada tungku dengan belanga besar berdiameter sekitar 1 meter dan kedalaman setengahnya.

Masakan mulai mendidih. Safrizal, 32 tahun, mengaduk tanpa henti bergantian dengan dua rekannya. Ada Rahmat, 28 tahun, yang menjaga api senantiasa menyala dengan kayu bakar. Satu rekan lainnya memasukkan air ke belanga agar bubur tak kekurangan air karena menguap. "Mengaduk harus terus dilakukan agar tidak berkerak," kata Safrizal.

Mereka sedang menyiapkan menu khusus berbuka puasa, yakni ie bu peudah (air nasi yang pedas), sejenis bubur mirip kanji rumbi dan berwarna cokelat muda. Bubur yang memerlukan waktu memasak sekitar tiga jam itu adalah masakan khas berbuka yang telah ada sejak lama selama bulan Ramadan.

"Sejak saya masih kecil, ini sudah ada dan telah menjadi tradisi," ujar Utoh Hasan, 78 tahun, seorang warga. Menurut Hasan, masakan ini telah ada sejak masa awal Islam masuk ke Aceh, sekitar abad XII Masehi. Kala itu, banyak orang India bermukim di Aceh. Saat itulah mereka meramu ie bu peudah untuk berbuka puasa bersama.

Bahan utama masakan bubur peudah itu beras. Sebagian kecil berasnya ditumbuk bersama kunyit dan lada. Sebagian lagi dimasukkan begitu saja ke masakan. Saban hari, kata Safrizal, pihaknya memasak delapan sampai 10 kilogram beras untuk persiapan berbuka puasa warga kampung itu.

Bahan lainnya adalah kelapa parut yang dimasukkan ke campuran masakan. Kemudian ada ragam dedaunan yang dipercaya menambah nikmat bubur peudah itu. "Dulunya, kata orang tua, ada 44 macam dedaunan yang dimasukkan ke masakan, sekarang agak sulit mencarinya, jadi beberapa saja," ujar Safrizal.

Dia tak mengingat persis nama dedaunan itu, hanya disebutkan beberapa seperti daun thaher, daun saga merah, dan daun salam. Dedaunan yang sebagian didapatkan dari hutan itu digiling dan telah dipersiapkan sebelumnya menjelang ramadhan tiba.

Rasa ie bu peudah hampir sama seperti bubur kanji rumbi atau bubur ayam. Tapi ada yang khas, rasa pedasnya. Ramuan dedauanan yang bercampur jahe, kunyit, dan lada dapat membuat orang yang mencicipinya segar dan bertenaga. Jika masuk angin, bubur peudah juga dapat menjadi obat.

Dua jam menjelang buka puasa, tempat masak itu mulai diserbu oleh anak-anak dan orang dewasa. Mereka membawa wadah untuk mengambil bubur peudah untuk menu berbuka di rumah. Sebagiannya untuk menu berbuka di meunasah.

ADI WARSIDI