Hikayat Pangeran Cakraningrat di Kampung Muslim Bali

TEMPO/Rofiqi Hasan
TEMPO/Rofiqi Hasan

TEMPO Interaktif, Denpasar - Azan magrib berkumandang dari pengeras suara Masjid Al-Muhajirin, Denpasar, Bali. Para sesepuh dan anak-anak telah berkumpul di serambi mengelilingi aneka penganan. Inilah saat berbuka puasa dengan menikmati sajian yang disediakan oleh warga. Sejenak kemudian salat magrib berjemaah dilaksanakan dan berlanjut dengan pembacaan doa-doa.

Suasana itu tentu tak jauh berbeda dengan suasana masjid-masjid lainnya ketika Ramadan. Seusai tarawih, tadarus Al-Quran pun berkumandang. Hingga pada sahur tiba. Padahal masjid dengan kubah biru di kampung muslim Pemogan itu berada di lingkungan umat Hindu. "Tapi tidak ada masalah karena kami sudah turun-temurun tinggal di sini," kata Haji Iskak Ibrahim, 74 tahun, takmir masjid itu.

Pemogan memang salah satu kampung muslim tertua di Bali. Masjid tertua yang namanya berarti "Para Pendatang" itu sudah dibangun pada abad XVIII. Itu ditandai oleh mihrab masjid yang bertulisan 1326 H. "Masjidnya lebih tua dari itu karena itu hanyalah tahun pertama kali masjid dipugar," kata Iskak.  

Pemugaran lainnya adalah pada 1976. Kala itu, tembok masjid retak akibat gempa besar sehingga dilakukan renovasi total. Selain masjid, di kampung itu terdapat dua madrasah ibtidaiyah dan sebuah pesantren.

Kampung yang kini dihuni oleh sekitar 400 keluarga dan 200 jiwa itu didirikan oleh pendatang muslim yang terdampar di Sanur. Mereka adalah para prajurit pelarian yang kemudian diminta membantu Raja Badung dalam pertempuran melawan kerajaan lain di Bali. Karena jasanya dalam peperangan, mereka kemudian mendapat hadiah sebidang tanah yang menjadi cikal bakal kampung itu.

Hubungan baik dengan keturunan Raja Badung yang kini diwarisi oleh Puri Pemecutan hingga saat ini masih dipertahankan. Kesenian khas tari Rodat biasanya akan dipertontonkan bila Puri sedang menggelar upacara. Tarian itu menggambarkan kepiawaian pasukan muslim dalam berperang dengan mengumandangkan Salawat Badar.

Konon bacaan salawat di masa itu bakal menggetarkan musuh-musuh mereka sehingga pasukan muslim sangat ditakuti. Nah, Cokorda (raja) Pemecutan juga akan hadir dan memberi bantuan bila umat Islam di Kepaon yang sebagian besar bekerja sebagai wiraswasta menggelar suatu acara.

Ada juga cerita turun-temurun yang menyebutkan bahwa kampung itu berakar dari pengikut Pangeran Cakraningrat IV, Adipati Bangkalan, Madura. Dikisahkan bahwa raja di Puri Pemecutan bergelar I Gusti Ngurah Gede Pemecutan memiliki putri bernama Gusti Ayu Made Rai. Pangeran Cakraningrat kemudian menikahi sang putri setelah berhasil menyembuhkan penyakitnya dan para pengikutnya menetap di kampung itu.

Apa pun kebenarannya, warga Hindu menganggap warga muslim di sana sebagai saudara. Pada saat Idul Fitri tiba, misalnya, warga muslim akan menghaturkan aneka kue khas Lebaran kepada warga Hindu. Demikian pula sebaliknya, bila hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu. Pada saat Nyepi, umat Islam turut membantu personel pengamanan agar kegiatan warga muslim tidak mengganggu ritual penyepian. "Hanya dalam hal ibadah kita berbeda," ujar Iskak.

Di luar masalah ibadah, kehidupan warga memang telah menyatu. Bahkan ada pula yang terikat  oleh adanya hubungan perkawinan. Warga muslim tak mempersoalkan adanya warung-warung yang tetap buka saat puasa. "Tentu kami harus beradaptasi," kata Hafids Umar, 24 tahun, pemuda dari Kepaon.

Baginya sudah menjadi hal biasa bila temannya yang beragama Hindu makan-minum di siang hari. Di pihak warga Hindu, mereka merasa tak terganggu dengan aktivitas yang banyak menggunakan pengeras suara. Kepala Banjar Jaba Tengah yang berseberangan dengan kampung muslim, Putu Gede, menyebut, mereka malah gembira dengan adanya kegiatan warga. "Kalau ada pertunjukan kesenian kami ikut menonton karena sangat menarik dan berbeda dengan milik kami," ujarnya.

Acara kesenian biasanya digelar saat peringatan Nuzulul Quran atau halalbihalal warga. Mereka juga bisa ikut menikmati makanan khas yang dijual di sekitar masjid. Sesuai dengan adat Bali, hubungan baik dengan warga muslim dianggap sebagai kewajiban me-Nyama Braya (menjaga  persaudaraan).

ROFIQI HASAN