Malam Selikuran di Solo, Tradisi Unik Keraton Surakarta Sambut Malam Lailatul Qadar

Abdi dalem dan kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat mengikuti Kirab Malam Selikuran untuk menyambut Lailatul Qadar, di Solo, Jawa Tengah, Sabtu malam, 25 Mei 2019. ANTARA/Mohammad Ayudha
Abdi dalem dan kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat mengikuti Kirab Malam Selikuran untuk menyambut Lailatul Qadar, di Solo, Jawa Tengah, Sabtu malam, 25 Mei 2019. ANTARA/Mohammad Ayudha

TEMPO.CO, Jakarta - Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo secara turun temurun menggelar peringatan malam selikuran sebagai bagian dari upacara menyambut malam Lailatul Qadr atau malam seribu bulan.

Tradisi ini dicirikan dengan prosesi mengarak tumpeng sewu (seribu) dan lampion dari keraton ke Sriwedari. Beberapa anggota masyarakat memahami tradisi tumpeng sewu dalam peringatan Malam Selikuran ini sebagai lambang berkah.

Tahun ini, Malam Selikuran akan dirayakan pada 30 Maret 2024. Prosesi dimulai dengan langkah-langkah tegap para prajurit Keraton Surakarta yang keluar dari pintu utama keraton, yang disebut kori kamandungan. Barisan pertama terdiri dari prajurit yang membawa umbul-umbul dan bendera keraton. Perjalanan iring-iringan kirab dari Keraton menuju Masjid Agung Surakarta.

Istilah "Malam Selikuran'' sendiri berasal dari bahasa Jawa "Selikur", yang artinya dua puluh satu, mengacu pada malam ke-21 dalam bulan Ramadan. Malam ini juga diperingati sebagai saat Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali dalam bentuk ayat Al Quran.

Sejarah Malam Selikuran

Dilansir dari surakarta.go.id, malam Selikuran merupakan tradisi unik di Keraton Surakarta yang diadakan untuk menyambut kedatangan lailatul qadar. Bagi umat Islam, lailatul qadar dianggap istimewa karena lebih berharga dari seribu bulan dan jatuh pada malam-malam ganjil dalam 20 hari terakhir bulan Ramadan selama berpuasa.

Kegiatan Malam Selikuran berlangsung pada tanggal 20 atau 21 Ramadan setiap tahunnya. Tradisi ini awalnya diperkenalkan oleh Sultan Agung, namun mengalami variasi sepanjang sejarahnya. Di era Pakubuwana IX, kegiatan ini dihidupkan kembali dan mencapai puncaknya pada masa Pakubuwana X.

Pada masa itu, Malam Selikuran melibatkan prosesi mengarak tumpeng dari Keraton ke Masjid Agung Surakarta, disertai dengan lampu ting atau pelita. Lampu ting melambangkan obor yang dibawa oleh sahabat Nabi Muhammad SAW ketika mereka menjemputnya setelah menerima wahyu di Jabal Nur.

Meskipun begitu, dikatakan bahwa tradisi Malam Selikuran sudah berlangsung sejak zaman Walisongo, yang mengindikasikan kegiatan spiritual mendekatkan diri kepada Allah pada malam-malam terakhir bulan Ramadan. Praktik ini kemudian diadaptasi ke dalam budaya Jawa, menjadi tradisi yang dikenal sebagai Malam Selikuran.

Makna Malam selikuran

Masyarakat Jawa memandang Selikuran (21 Ramadan) sebagai momen yang memiliki makna khusus. Tradisi Malam Selikuran merupakan perpaduan antara budaya dan agama yang kaya akan signifikansi. Umumnya, masyarakat Jawa merayakan Malam Selikuran dengan berbagai tradisi yang beragam. Kehadiran tradisi ini sangat istimewa karena menampilkan banyak nilai positif dalam peringatannya.

Dikutip dari laman surakarta.go.id, 21 Ramadan menurut ajaran Islam dimaknai istimewa karena dalam sejarah awal Islam, Rasulullah Saw memulai beri'tikaf. Beri'tikaf, yang dalam bahasa sederhana berarti berdiam diri, merupakan sebuah ibadah yang dianjurkan untuk dilakukan di masjid, terutama pada bulan suci Ramadhan, dan lebih khususnya lagi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk mencari malam Lailatul Qadar. 

Pilihan Editor: Tradisi Unik di Surakarta Sambut Malam Lailatul Qadar