Tata Cara Salat di Kendaraan Ketika Perjalanan Jauh beserta Hukumnya

Reporter

Sejumlah umat muslim bersiap melaksanakan Salat Idul Adha 1440 H di Masjid Istiqal, Jakarta, Ahad, 11 Agustus 2019. Gereja Katedral menyediakan tempat parkir bagi kendaraan jemaah mengingat area parkir masjid masih direnovasi.TEMPO/Muhammad Hidayat
Sejumlah umat muslim bersiap melaksanakan Salat Idul Adha 1440 H di Masjid Istiqal, Jakarta, Ahad, 11 Agustus 2019. Gereja Katedral menyediakan tempat parkir bagi kendaraan jemaah mengingat area parkir masjid masih direnovasi.TEMPO/Muhammad Hidayat

TEMPO.CO, JakartaInformasi tata cara salat di kendaraan perlu diketahui oleh setiap umat Islam. Pasalnya, salat wajib lima waktu tidak boleh ditinggalkan meskipun sedang dalam perjalanan. Apalagi menjelang lebaran hari raya Idulfitri, sejumlah masyarakat Indonesia akan melaksanakan rutinitas mudik pulang ke kampung halaman yang berjarak ratusan hingga ribuan kilometer dari tempat merantau.

Hukum Salat di Kendaraan

Dalil salat di atas kendaraan dikemukakan oleh Abu Bakar Al-Hishni dalam kitab Kifayatul Akhyar. Berikut bunyi hadits menurut Madzhab Imam Syafi’i.

Arinya, “Diperbolehkan seseorang yang sedang melakukan perjalanan baik berkendara maupun berjalan kaki untuk salat sunnah menghadap ke arah tempat tujuan, di dalam perjalanan panjang (boleh mengqashar) dan di dalam perjalanan pendek (tidak boleh mengqashar) menurut pendapat dari madzhab Syafi’i.”

Pendapat tersebut didasarkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, artinya, “Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah salat di atas kendaraannya (unta) menghadap kemana pun kendaraan itu melaju. Namun, saat beliau hendak salat fardhu (wajib), maka beliau turun dan salat menghadap kiblat.”

Dari dalil tersebut dapat dipahami bahwa salat di kendaraan tidak dilarang dilakukan untuk salat-salat yang bersifat sunnah. Hal tersebut mengacu pada ketentuan salat sunnah yang boleh ditunaikan tanpa berdiri. Lantas, bagaimana dengan tata cara salat di kendaraan untuk salat wajib?

Apabila melihat hadist Imam Bukhari tersebut, maka salat wajib tidak bisa dilaksanakan di atas kendaraan jika tidak berdiri. Rasulullah pernah memerintah Ja’far bin Abi Thalib untuk salat sambil berdiri di atas kapal laut menuju negeri Habasyah.

Artinya, “Rasulullah menyuruh Ja’far bin Abi Thalib untuk salat di atas kapal laut sembari berdiri selama tidak takut tenggelam,” (HR. Al-Bazzar).

Namun, Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarhul Muhadzab menerangkan bahwa, “Para sahabat berpendapat, jika telah datang waktu salat fardhu, sementara mereka dalam perjalanan, dan bila turun untuk salat dengan menghadap kiblat dikhawatirkan tertinggal dari rombongan atau khawatir terhadap diri-sendiri maupun harta benda, maka tidak boleh meninggalkan salah dan mengeluarkan dari waktu. Ia harus salat di atas kendaraan untuk menghormati waktu salat dan wajib mengulangi (bila memungkinkan), karena itu adalah uzur yang jarang terjadi.”

Tata Cara Salat di Kendaraan

Menurut Yazid Muttaqin kepada laman NU (Nahdlatul Ulama) Online, ada beberapa kemungkinan yang menjadi alasan seseorang untuk dilarang atau diperbolehkan salat di kendaraan, meliputi.

  1. Apabila kendaraan yang ditumpangi milik pribadi, maka tidak ada alasan untuk tidak turun dan menunaikan salat fardu.
  2. Jika naik pesawat, kereta api, atau kapal laut, maka orang tersebut bisa salat fardu di atas kendaraan tersebut.
  3. Jika kendaraan yang ditumpangi adalah kendaraan umum antarkota, seperti bus, maka kecil kemungkinan untuk berhenti, sehingga tidak bisa salat sempurna dan menghadap kiblat. Harapan yang tersisa ialah menunggu kendaraan berhenti di tempat istirahat. 

Lebih lanjut, Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf dalam kitab Taqriratus Sadidah memaparkan bahwa orang yang tidak memungkinkan salat sempurna seperti poin ke-3, maka boleh melakukan salat sebisa mungkin untuk menghormati (lihurmatil waqti).

Untuk tata cara salat di kendaraan dalam konteks menghormati waktu, dianjurkan membaca niat sambil mengucapkan lihurmatil waqti, misalnya untuk salat Zuhur, yaitu:

Ushalli fardhadh dhuhri arba’a raka’aatin lilhurmatil waqti lillaahi ta’aala.

Selanjutnya, jika tidak memungkinkan berdiri, ruku’ dapat dilakukan dengan menundukkan kepala, setelah i’tidal (duduk tegak), sujud dengan menundukkan kepala lebih rendah dibandingkan ruku’. Wallahu a’alam bisshawab.

Pilihan editor: Manfaat Sujud bagi Kesehatan Otak

NIA HEPPY | MELYNDA DWI PUSPITA