IMBAS kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak eks pejabat Ditjen Pajak yang sering memamerkan gaya hidup mewah di media sosial terus menarik perhatian publik. Sampai dengan hari ini masyarakat masih terus memburu Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki gaya hidup tak sesuai penghasilan yang didapatkannya. Masyarakat menjadi curiga bahwa ASN yang hidupnya bergelimang harta merupakan hal yang tak lumrah dan dianggap menggunakan pajak hasil rakyat.
Buntutnya, satu per satu daftar ASN dan keluarganya yang kerap memamerkan harta kekayaannya mencuat di media sosial. Di antaranya bahkan dinonaktifkan dari jabatannya. Sementara itu, juga terdapat ASN yang ditengarai sibuk klarifikasi bahwa kemewahan yang kerap diumbar oleh anak dan istrinya hanya menggunakan barang kelas nomor dua, alias KW belaka.
Tsunami kekecewaan publik semakin memuncak. Mereka semakin bertanya-tanya dan terus memburu cara kaya yang digunakan para abdi negara. Dari data LHKASN atau LHKPN akhirnya terkuak banyak barang-barang wajib pajak yang masuk beranda media sosial tapi alpa dilaporkan.
Masyarakat juga mencermati bahwa tingginya remunerasi yang diterima pegawai juga tidak menjamin nihilnya risiko korupsi. Hal ini berkaitan dari banyaknya dugaan penyelewengan yang dilakukan oleh pegawai dari Kementerian yang konon katanya memiliki remunerasi paling tinggi di antara Kementerian dan Lembaga lainnya.
Momentum Puasa dan Kesederhanaan
Puasa artinya menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal yang dapat membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Memaknai fenomena sosial yang terjadi hari ini, ibadah puasa selayaknya dapat dipahami bukan hanya menahan lapar dan dahaga saja. Lebih dari itu, puasa dapat dijadikan sebagai momentum untuk melatih diri agar dapat hidup dalam kesederhanaan.
Seringkali dalam menjalankan ibadah puasa kita terjebak dengan gaya hidup yang berlebih-lebihan, sehingga esensi puasa tidak benar-benar didapatkan. Padahal, Rasulullah SAW dan para sahabatnya memberikan teladan dalam menghadapi bulan Ramadan. Dikisahkan, Rasulullah SAW dan para sahabat hanya menyantap kurma basah (ruthob) dan kurma kering (tamr) dan air putih saja saat berbuka puasa.
Sederhana adalah makna puasa yang selayaknya dapat diinternalisasi. Puasa merupakan momentum untuk mereset diri agar dapat hidup sederhana, hemat dan secukupnya. Karena itu, ibadah puasa yang dilakukan sesungguhnya mengajarkan bagaimana hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Oleh sebab itu, puasa yang saat ini kita lakukan mestilah jauh dari belenggu pemborosan.
Terlebih di era digital ini banyak sekali godaan dalam menjalankan ibadah puasa. Tak sedikit yang berlomba-lomba menyajikan menu berbuka yang beraneka ragam dan menggugah selera. Bukan hanya menyajikannya di meja makan, tetapi juga berlomba untuk mempostingnya di media sosial.
Era media sosial yang mewariskan kecemasan akan ketinggalan update informasi atau Fear of Missing Out (FOMO) tak seharusnya menjadikan momentum puasa jadi ajang pamer. Bukan hanya pamer menu, tetapi juga pamer gaya hidup. Pamer rubicon, deretan tas bermerk hingga liburan mewah ke luar negeri. Apalagi gaya hidup yang dipamerkan didapat dari cara-cara batil, mengambil yang bukan haknya. Tentu hal ini dapat mengurangi esensi puasa yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Spirit kesederhanaan dalam menjalankan ibadah puasa juga disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Secara tegas, Presiden Jokowi meminta jajaran pemerintah menyambut bulan puasa dengan spirit kesederhanaan. Presiden Jokowi juga mengimbau agar ASN dan pejabat negara tidak mengadakan kegiatan buka bersama. Harapannya anggaran yang selama ini dialokasikan untuk buka puasa bersama dialihkan ke kegiatan lain yang lebih bermanfaat.
Membangun Ekosistem Antikorupsi
Dalam pengantarnya pada Sidang Kabinet Paripurna pada Maret 2023, Presiden Joko Widodo meminta secara tegas kepada seluruh jajaran aparatur sipil negara (ASN) agar dapat disiplin dalam menghilangkan sifat hedonisme. Presiden Jokowi menegur jajaran aparatur yang masih memiliki sifat hedonisme, jemawa, dan pamer kekuasaan.
Presiden menyebut, perilaku tersebut sangat merugikan dan dapat menciptakan kekecewaan bagi masyarakat. Secara eksplisit presiden juga menginstruksikan agar ASN dapat lebih bijak dalam berperilaku, termasuk dalam bermedia sosial. Menurutnya, perilaku pamer di media sosial tidak pantas dilakukan oleh seorang aparat.
Instruksi Presiden ini kemudian dimaknai dengan munculnya berbagai edaran dari Kementerian maupun Lembaga Negara agar para punggawanya tidak memamerkan gaya hidup mewah terlebih dahulu di media sosial. Padahal pesan Presiden Jokowi ini dapat dimaknai lebih dalam, bahwa ada urgensi yang harus dijaga dari sekadar tidak pamer harta di media sosial. Tetapi sudah saatnya abdi negara kembali pada khittah kesederhanaan dam menghindarkan diri dari perilaku korupsi.
Sederhana berarti hidup secara wajar. Artinya, mampu menggunakan hartanya sesuai kebutuhan yang ada, tidak menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak penting. Tidak pamer gaya hidup mewah alias flexing. Korupsi salah satunya dipicu oleh hidup mewah yang berlebihan dan tidak sesuai dengan besaran gaji.
KPK telah merilis sembilan nilai sembilan nilai integritas yang dapat mencegah tindak pidana korupsi. Kesembilan nilai itu adalah jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil. Kesederhanaan ini harus terus dibangun dan diupayakan dalam ekosistem pertama di lingkungan kita, yaitu keluarga.
Peran keluarga sangatlah penting karena keluarga merupakan tempat pertama dalam membangun pendidikan dan membentuk karakter. Hasil studi KPK di tahun 2012-2013 di daerah Jawa Tengah menyebutkan bahwa hanya 4 persen dari orang tua yang mengajarkan kejujuran pada anak-anaknya. Padahal peran orang tua sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi. Terutama keteladanan yang dicontohkan dari orang tua itu sendiri.
Nurul Badruttamam, Kabag Kepegawaian dan Umum Sekretariat Inspektorat Jenderal Kementerian Agama