Asal Usul Kitab Kuning, Rujukan Keilmuan Islam di Pesantren

Reporter

Membaca Kitab Kuning. ANTARA/Arief Priyono
Membaca Kitab Kuning. ANTARA/Arief Priyono

TEMPO.CO, JakartaBagi santri atau sejumlah kalangan yang berada di lingkungan pesantren, tentu tidak asing dengan kitab kuning. Eksistensinya kini telah menjadi kitab rujukan utama bagi tradisi keilmuan Islam di pesantren. Kitab ini bukan dikarang sembarang orang, melainkan oleh para ulama yang ahli dalam Alquran dan hadis. 

Menilik asal-usulnya, istilah “kitab kuning” mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren sekitar dua dasawarsa silam dengan nada yang merendahkan. Ali Yafie dalam buku berjudul Kitab Kuning: Produk Peradaban Islam (1998) menuliskan, mereka menganggap kitab kuning sebagai kitab yang berisi keilmuan rendah, ketinggalan zaman, dan menjadi penyebab stagnasi berpikir umat Islam. 

Sebutan dengan nada merendahkan (pejorative) ini pada mulanya memang menyakitkan. Kendati demikian, seiring waktu kitab kuning bisa diterima secara meluas sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan. Bahkan, kitab kuning dianggap formulasi final dari ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Nabi oleh masyarakat pesantren. 

Dinamai kitab kuning, sebab ditulis di media kertas yang berwarna kuning. Namun, pengasuh Pesantren Al-Anwar, KH Maimoen Zubair, memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya, kuning dalam istilah kitab kuning itu diambil dari kata arab “ashfar” yang mempunyai arti kosong. Jadi, jika seorang ingin menjadi kiai atau ulama yang alim dalam masalah agama, dia harus bisa membaca kitab dengan kosong. 

Di kalangan pesantren sendiri, selain istilah kitab kuning, beredar juga istilah “Kitab Klasik” (al-qutub al-qodimah), untuk menyebut jenis kitab yang sama. Bahkan, karena tidak dilengkapi sandangan (syakal), kitab kuning juga kerap disebut oleh kalangan pesantren disebut “Kitab Gundul”. Dan karena rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang menjuluki kitab kuning ini dengan “Kitab Kuno”.

Said Aqil Siradj dalam buku Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (1999) mengungkapkan bahwa kitab kuning ditulis oleh para ulama dengan kualifikasi ganda, yaitu keilmuan tinggi dan moralitas yang luhur. Ia juga ditulis dengan mata pena atau jari-jari yang bercahaya. Oleh karena itu, kitab ini dipandang hampir tak memiliki cacat dan sulit untuk dikritik. 

HARIS SETYAWAN 

Baca: Begini Pondok Pesantren Lebak Belajar Kitab Kuning Saat Ramadan

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.