Santapan Berbuka Puasa, ini Makna Takjil yang Sebenarnya

Reporter

Pedagang melayani pembeli yang membeli takjil untuk berbuka puasa di kawasan Jalan Panjang, Jakarta, 9 Mei 2020. Dampak COVID-19 dan penerapan PSBB membuat penurunan pendapatan penjual takjil musiman ini. TEMPO/Fajar Januarta
Pedagang melayani pembeli yang membeli takjil untuk berbuka puasa di kawasan Jalan Panjang, Jakarta, 9 Mei 2020. Dampak COVID-19 dan penerapan PSBB membuat penurunan pendapatan penjual takjil musiman ini. TEMPO/Fajar Januarta

TEMPO.CO, JakartaBerbuka puasa di bulan Ramadan identik dengan beberapa kebiasaan yang unik. Salah satu yang identik saat berbuka puasa adalah adanya menu takjil. Sebagian besar orang menyebut takjil sebagai menu yang tersedia dan disantap untuk berbuka. Banyak juga yang menyebut sajian kolak, kurma, dan kudapan lainnya sebagai takjil. Namun, banyak yang keliru memaknai takjil.

Faktanya, dalam bahasa Arab, Takjil berasal dari kata ‘ajila yang artinya menyegerakan. yu’ajjilu-ta’jilan yang berarti menyegerakan atau cepat-cepat. Sehingga, takjil diartikan sebagai menyegerakan untuk berbuka puasa.

Senada dengan arti tersebut, untuk mempermudah pengucapan, kata tersebut disederhadanakan pengucapannya menjadi takjil. Hal itu lantas diserap ke dalam bahasa Indonesia yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata takjil didefinisikan sebagai mempercepat (dalam berbuka puasa).

Adanya istilah takjil sebagai sebutan untuk menu berbuka puasa berawal dari proses penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Saat itu, para wali ketika sedang berdakwah kerap memasak kolak dari bahan pisang kepok, ubi jalar, dan gula merah. Lambat laun, menu tersebut divariasikan dengan cara pengolahan lain. Mulai dari kolang-kaling dengan kuah bening, pembuatan tapai, hingga nangka. Sampai saat ini, penyebutan menu untuk berbuka puasa disebut dengan takjil.

Anjuran untuk menyegerakan berbuka puasa ditegaskan dalam Islam. Hal itu supaya waktu saat magrib bisa dimanfaatkan secara maksimal. Seperti yang dinyatakan dalam hadis riwayat Abu Daud: “Biasanya Rasulullah Shallallu’alaihi Wasallam berbuka puasa dengan ruthab (kurma muda) sebelum shlat (Magrib). Jika tidak ada ruthab, maka dengan tamr (kurma matang), jika tidak ada tamr maka beliau meneguk beberapa teguk air”.

Penerapan itu selanjutnya dilakukan oleh sebagian orang. Saat memasuki waktu berbuka puasa, mereka akan segera minum air putih, kemudian memakan menu kecil (bukan nasi) yang disebut takjil. Setelah itu, melaksanakan salat Magrib, dan baru kemudian mengonsumsi makanan berat seperti nasi dan hidangan lainnya.

RISMA DAMAYANTI

Baca: Makanan Buka Puasa yang Dianjurkan Ahli Gizi Bukan Gorengan atau Kolak

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.