Batahlil Hingga Selo Buto, Tradisi Menyambut Ramadan di Maluku

Ilustrasi orang mengaji / membaca Al Quran. REUTERS
Ilustrasi orang mengaji / membaca Al Quran. REUTERS

Selo Buto

Selo buto adalah tradisi yang dilakukan untuk menyambut malam turunnya lailatul qadar atau turunnya Al Quran di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Selo buto biasa dilakukan setiap malam 27 Ramadan, karena sejak zaman dahulu masyarakat setempat meyakini bahwa amalan yang dilakukan selama malam lailatul qadar sama nilainya dengan seribu bulan.

Selo buto diawali dengan menancapkan sejumlah tiang kayu dengan tinggi dua meter di pekarangan rumah. Kayu-kayu ditata membentuk lingkaran dengan diameter sekitar lima meter. Batang-batang itu akan digunakan untuk mengikat batang enau, pisang, jagung, dan tebu.

Pohon enau, pisang, jagung, dan tebu yang diikatkan di tiang harus lengkap dengan daunnya dan khusus untuk pisang dan jagung harus memiliki buah yang bisa dimakan. Semua tumbuhan buah-buahan itu berasal dari kebun masyarakat.

Sejumlah pria akan menabuh tifa atau gendang rebana. Belasan pria akan masuk ke dalam lingkaran dengan membawa parang atau salawaku sambil menari Cakalele, tarian tradisional setempat.

Setelah menari Cakalele sekitar 30 menit, para pria yang membawa parang mulai mengibaskan parang mereka pada tiang-tiang yang telah diikat tumbuhan. Warga ramai memperebutkan buah-buah yang berjatuhan dari tiang.

Baca juga: Mandi Balimau, Tradisi Sekaligus Wisata Religi Sambut Ramadan

YOLANDA AGNE