Masjid Raya Bandung, Sering Direnovasi Sejak 1812

Reporter

Menara kembar Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat atau Masjid Agung, dibuka bagi kunjungan wisatawan selama bulan ramadan, 3 Juni 2017. Masjid ini jadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk ngabuburit di bulan ramadan. TEMPO/Prima Mulia
Menara kembar Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat atau Masjid Agung, dibuka bagi kunjungan wisatawan selama bulan ramadan, 3 Juni 2017. Masjid ini jadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk ngabuburit di bulan ramadan. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Jakarta - Masjid Raya Bandung didirikan pada 1812. Masjid yang semula disebut dengan nama Masjid Agung ini telah melalui beberapa kali  renovasi. Pembangunan masjid yang berada di Alun-alun Pusat Kota Bandung sekitar Jalan Asia Afrika dan Braga ini bersamaan dengan peristiwa pemindahan ibu kota provinsi saat masih di Krapyak, Bandung Selatan.

Sebagai daerah etnis Sunda, Masjid Agung Jawa Barat di awal pembangunannya dipenuhi dengan corak arsitektur Sunda, seperti yang dikutip dari laman simas.kemenag.go.id. Dengan balutan arsitektur sederhana, masjid ini diketahui dulunya dibangun dari anyaman bambu serta beratapkan rumbia. Menjadi tampak berbeda, atas rumbia ini disusun berundak dan pada bagian puncaknya dapat dilihat meruncing maka tak heran masjid ini miliki julukan Bale Nyucung dalam bahasa sundanya, yang berarti tempat pertemuan lancip.

Justru dengan segala kesederhanaan arsitektur yang dimiliki masjid ini, melekatkan kesan bahwa bangunan ini asri, luas dan berkesan tradisional terasa dalam keseluruhan bangunan masjid.

Dahulu, tempat fasilitas wudu yang ada di Masjid Agung bersumberkan dari sebuah kolam besar, konon saat kejadian kebakaran di Alun-alun Kota Bandung pada 1825, sumber air di kolam inilah yang membantu memadamkan kebakaran tersebut.

Setahun setelah kebakaran di Alun-alun Kota Bandung, tindakkan perbaikan dinding dan atap masjid dilakukan dengan menggunakan baha kayu. Perubahan kedua dilakukan pada tahun 1850, hal ini dilakukan seiring dengan dibangunnya jalan Jl. Asia Afrika sebelum dulunya bernama Jalan Groote Postweg.

Perombakan yang dilakukan berupa  perluasan wilayah masjid, penggantian atap menjadi genteng, dan pengecoran dinding masjid permanen batu-bata.  Semakin lama pagar-pagar semakin meluas diikuti dengan pembagunan pondasi pagar pada 1875.

Tahun 1955, Presiden Soekarno menjelang konfrensi Asia-Afrika menginisiasi renovasi Masjid Agung Bandung. Peubahan itu dimulai dengan pengubahan bentuk kubahnya menjadi bentuk kubah persegi empat yang bergaya timur tengah. Selain itu, namun tak lama, hanya 15 tahun kubah ini bertahan dan kemudian alami kerusakan akibat angina kencang yang melanda Bandung.

Melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat, tahun 1973, Masjid Agung Bandung akan mengalami perubahan besar-besaran lagi. Salah satunya yang mencolok yakni di bagian menaranya, di mana dibangaun ornament bulat seperti bawang dan atap kubah masjid berbentuk Joglo.

Masa kepemimpinan Gubernur H.R. Nuriana masjid agung ini dilakukan perombakan besar-besaran pada tahun 2001 dengan melibatkan 4 orang perancang kondang dari Bandung, yaitu Ir. H. Keulman, Ir. H. Arie Atmadibrata, Ir. H. Nu’man dan Prof. Dr. Slamet Wirasonjaya, Perubahan tersebut dapat terlihat di bagian atap masjid yang semulanya berundak laiknya atap joglo menjadi penampakan kubah besar hingga saat ini, juga bagian atap yang berbentu limas turut disentuh renovasi dalam bentuk setengah bola kubah dengan diameter 30 meter lebarnya.

Pada 4 Juni 2003 pula. Masjid Raya Bandung ini memiliki dua menara, dan kemudian pada tahun ini pula Masjid Agung berganti nama menjadi Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat, saat kepemimpinan Gubernur H.R. Nuriana.

TIKA AYU

Baca: Kabar Menara Masjid Raya Bandung Roboh Bikin Warga Panik