3 Alasan Muhammadiyah Putuskan Awal Waktu Subuh Mundur 8 Menit

Reporter

Seorang petugas keamanan berdoa di koridor masjid Istiqlal yang ditutup saat diberlakukannya PSBB guna mencegah penyebaran Virus Corona saat bulan suci Ramadhan di Jakarta, 24 April 2020. REUTERS/Willy Kurniawan
Seorang petugas keamanan berdoa di koridor masjid Istiqlal yang ditutup saat diberlakukannya PSBB guna mencegah penyebaran Virus Corona saat bulan suci Ramadhan di Jakarta, 24 April 2020. REUTERS/Willy Kurniawan

TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus Pusat atau PP Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih resmi memutuskan awal waktu subub mundur 8 menit dari yang saat ini umum berlaku di Indonesia.   

Keputusan ini bermula ketika para ulama Muhammdiyah berkumpul membahas titik ketinggian matahari saat fajar. Musyawarah ini diselenggarakan Tarjih ke-13 2020 lalu.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menetapkan ketinggian matahari awal waktu Subuh yang baru, yaitu minus 18 derajat di ufuk bagian timur. Mayoritas menetapkan derajatnya ada di 19, sebagian ada di 18. “Dari 21 ulama falak menetapkan di situ itu,” ucap Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto tentang kriteria awal waktu subuh seperti dikutip Tempo dari laman resmi Muhammadiyah.

Agung Danarto menjelaskan para ulama menyepakati, sesuai dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw, awal waktu salat Subuh adalah saat terbit fajar sadik. Hanya, yang menjadi perdebatan adalah kapan fajar sadik itu terbit. Hal ini telah lama menjadi perdebatan di kalangan para fukaha dan ulama Islam.

Menurut Agung Danarto putusan Majelis Tarjih tentang awal waktu subuh itu telah melalui pengkajian tiga aspek, pertama adalah pendapat ulama falak atau astronomi sejak abad 4 sampai sekarang.

Berikutnya, Majelis Tarjih dan Tajdid mengambil sampel sejumlah negara tentang penetapan mereka atas awla waktu subuh. Menurut Agung terdapat perbedaan awal waktu subuh dibanyak negara.

Selain melakukan kajian terhadap negara lain, Muhammadiyah juga melakukan kajian mandiri melalui lembaga astronomi di sejumlah kampus Muhammadiyah.

Kajian ketiga ini Majelis tarjih mengamanatkan kepada 3 lembaga untuk melakukan kajian dan Observatorium Ilmu Falak (OIF) yang berada di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Medan, Pusat Studi Astronomi (Pastron) yang berada di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, dan Islamic Science Research Network (ISRN) yang berada di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), Jakarta.

Lembaga-lembaga riset itu telah melakukan pengamatan selama 4 tahun. “Mereka melakukan pengamatan tidak hanya di 3 kota ini, tetapi lebih dari 20 kota di Indonesia melakukan pengamatan selama 4 tahun,” katanya.

Berdasarkan kajian dan pengamatan yang cukup lama tersebut, kata Agung Majelis Tarjih melalui ijtihad jama’I, memutuskan untuk mengubah ketinggian matahari awal waktu Subuh minus 20 derajat yang selama ini berlaku dan sebagaimana tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih 3. Serta menetapkan ketinggian matahari awal waktu Subuh yang baru, yaitu minus 18 derajat di ufuk bagian timur.

PP Muhammadiyah kemudian sudah mentanfidzkan dari hasil Munas ini, dan meminta kepada seluruh warga Muhammadiyah untuk bisa mentaati. "Bisa melaksanakan apa yang sudah diputuskan oleh Majelis Tarjih” katanya.

TIKA AYU

Baca juga: Muhammadiyah Putuskan Awal Waktu Salat Subuh Mundur 8 Menit