Toron hingga Apitan, Inilah 5 Tradisi Unik Perayaan Hari Raya Iduladha di Indonesia

Editor

Nurhadi

Ratusan pengendara motor melintasi Jembatan Suramadu, Surabaya, Jawa Timur, Kamis, 30 Juli 2020. Menjelang Hari Raya Idul Adha 1441 H, jembatan penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau Madura tersebut dipadati kendaraan khususnya pemudik yang menggunakan motor menuju Pulau Madura. ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Ratusan pengendara motor melintasi Jembatan Suramadu, Surabaya, Jawa Timur, Kamis, 30 Juli 2020. Menjelang Hari Raya Idul Adha 1441 H, jembatan penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau Madura tersebut dipadati kendaraan khususnya pemudik yang menggunakan motor menuju Pulau Madura. ANTARA FOTO/Zabur Karuru

TEMPO.CO, Jakarta - Iduladha menjadi momen penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Iduladha memang identik dengan melimpahnya daging sapi, kambing, dan kerbau. Meski begitu, tiap daerah di Indonesia memiliki tradisi unik masing-masing dalam menyambut hari raya ini. Berikut lima tradisi unik unik saat Iduladha di berbagai daerah. 

1. Tradisi Apitan

Tradisi Apitan merupakan tradisi yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki berupa hasil bumi yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Indonesia Travel, tradisi ini merupakan kebiasaan para Wali Songo dulu sebagai bentuk ungkapan rasa syukur di perayaa.

Biasanya, tradisi Apitan digelar oleh masyarakat Jawa yang ada di Semarang, Demak, Grobogan dan lainnya. Di Semarang, tradisi ini biasa diisi dengan pembacaan doa yang dilanjutkan dengan arak-arakan hasil tani, ternak dan nantinya hasil tani yang diarak ini akan diambil secara berebutan oleh masyarakat setempat.

Apitan sendiri konon berasal dari nama bulan Apit dalam kalender Jawa. Bulan Apit jatuh setelah bulan Syawal dan sebelum bulan Dzulhijjah (bulan haji). Apit juga berarti kejepit karena berada di antara Idul Fitri dan Iduladha.

2. Tradisi Gamelan Sekaten

Tradisi Gamelan Sekaten merupakan salah satu tradisi yang selalu digelar di Keraton Kasepuhan Cirebon saat Hari Raya Idulfitri dan Iduladha. Keberadaannya tak lepas dari peran Wali Songo, khususnya Sunan Gunung Jati yang menyebarkan Islam di tanah Cirebon lewat kesenian.

Pelaksanaan tradisi Gamelan Sekaten intinya adalah membunyikan gamelan saat hari raya umat Islam. Bebunyian dari gamelan tersebut dianggap menjadi penanda umat Islam merayakan hari kemenangan. Gamelan itu mulai dibunyikan sesaat setelah sultan Keraton Kasepuhan keluar dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa usia salat Ied. Bunyi gamelan akan mengalun dari pagi hingga siang hari dari Siti Inggil di Komplek Keraton Kasepuhan.

Konon, Gamelan Sekaten merupakan rangkaian alat musik yang digunakan oleh Sunan Gunung Jati untuk menyiarkan Islam. Kala itu, masyarakat yang menonton gamelan harus membayar namun bukan dengan uang, melainkan dua kalimat syahadat atau syahadatain.

3. Tradisi Toron

Toron atau mudik pada Hari Raya Iduladha dan hari besar keagamaan Islam lainnya merupakan tradisi bagi warga Madura yang tinggal di luar Pulau Madura atau sedang merantau. Istilah toron merupakan kebalikan dari istilah onggha, yaitu melakukan migrasi ke tempat lain yang dituju (emigrasi).

Lahirnya istilah toron tidak lepas dari aktivitas perpindahan (onggha) yang lebih dahulu terjadi. Bagi warga Madura, syarat terjadinya onggha harus melakukan perpindahan ke luar pulau. Jika terjadi perpindahan masih dalam Pulau Madura, maka itu belum disebut sebagai onggha. Atas kuatnya ajaran Islam dalam setiap diri warga Madura, mereka yang sedang merantau selalu meluangkan waktu agar bisa pulang kampung saat iduladha. 

4. Tradisi Endog Abang

Tradisi ini merupakan tradisi khas dari Kasultanan Yogyakarta. Di Yogyakarta, acara inti dari tradisi ini yaitu mengarak gunungan berupa berbagai makanan ke titik terdekat Keraton Yogyakarta. Untuk mendukung perayaan Grebeg biasanya terdapat sejumlah makanan tradisional yang banyak dijumpai saat pelaksanaan upacara Grebeg, salah satunya telur merah atau dikenal dengan istilah endog abang.

Endog abang merupakan makanan tradisional berbahan dasar telur rebus yang dicat kulitnya dengan warna merah. Warna merah yang digunakan adalah pewarna makanan sehingga tidak membahayakan isi telur ketika dikonsumsi. Agar semakin cantik, endog abang dihias dengan menggunakan kertas warna warni dengan ditusuk menggunakan bambu. 

Tradisi endog abang sudah ada sejak puluhan tahun lalu dan masih terus dilestarikan hingga sekarang, khususnya bagi para perempuan usia lanjut sehingga penjual makanan ini mayoritas adalah pedagang perempuan setengah baya. Keunikan dari jajanan tradisional ini yaitu diperjualbelikan ketika perayaan Grebeg saja.

5. Tradisi Manten Sapi

Tradisi ini tumbuh subur di Pasuruan, Jawa Timur. Tradisi itu biasanya digelar pada H-1 Iduladha. Dalam pelaksanaannya, masyarakat mendandani sapi yang hendak dikurbankan seperti layaknya pengantin. Biasanya, sapi dikalungkan bunga tujuh rupa, lalu dibalut dengan kain kafan, sorban dan sajadah. Setelah didandani, semua sapi akan diarak menuju masjid setempat untuk diserahkan kepada panitia kurban.

Tradisi Manten Sapi merupakan bagian dari syiar agama untuk mengingatkan pentingnya berkurban. Setelah memotong hewan kurban itu, daging kurban dibagikan kepada yang berhak. Selain itu, sebagai bagian dari tradisi Manten Sapi, masyarakat akan mengolah bersama daging kurban dan menyantapnya.

NAOMY A. NUGRAHENI | RACHEL FARAHDIBA REGAR | NINIS CHAIRUNNISA

Pilihan Editor: Perhatikan 3 Syarat Ibadah Kurban bagi Muslim