Puasa Pondasi Etis Kemanusiaan

Ilustrasi mengaji. TEMPO/Subekti.
Ilustrasi mengaji. TEMPO/Subekti.

SUATU anugerah besar bila umat Islam dipertemukan kembali dengan Ramadan. Ramadan merupakan bulan kesempatan (wulan aji mumpung) bagi umat Islam untuk melipatgandakan pahala amal saleh. Pahala ibadah sunnah setara dengan ibadah wajib. Lebih-lebih, jika umat Islam mendapatkan lailatul qadr yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Dalam banyak hadits, begitu banyak keutamaan Ramadan yang disebut oleh Rasulullah SAW. Pantas bila Ramadan disebut sebagai bulan agung (syahrun adhim) dan penuh berkah (mubarak).

Meski ayat dan hadits tentang Ramadan sama, dari dulu sampai sekarang, tetapi kedatangan momentum Ramadan selalu membuat umat Islam merenungkan hakikat bulan ini, dari berbagai perspektif. Ceramah dan kajian Ramadan yang membludak di seantero Nusantara mempermudah umat Islam memaknai Ramadan lebih tajam, tidak hanya dalam perspektif fikih atau sufi, tetapi juga kesehatan, politik, dan mungkin psikologi.

Coba kita renungkan kembali makna kata puasa (al-saum), yang secara bahasa artinya menahan diri dari segala sesuatu (al-imsak a-muthlaq) atau meninggalkan dari sesuatu (al-kaff wa al-tark ‘an al-syai). Pendek kata, segala sesuatu yang dapat kita lakukan (baik perkataan, perbuatan, atau bahkan aktivitas psikologis lainnya) tetapi kita tahan untuk tidak dilakukan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, itulah puasa. Sekalipun, sesuatu itu boleh (mubah) dikerjakan.

Secara bahasa saja, puasa memiliki manfaat besar bagi tata kebaikan kehidupan publik, lebih-lebih bila dimasukkan ruh ilahi. Secara syar’i, puasa juga berarti menahan tetapi dengan tata cara dan niat yang khusus (imsak makhsus, ‘ala wajh makhsus, bi niyyat makhsusat). Para ulama mendefinisikannya menjadi menahan diri dari hal yang membatalkan puasa (makan, minum dan hubungan suami-isteri) dari terbit fajar hingga terbenam matahari, semata karena Allah SWT.

Pada mulanya, puasa dimaksudkan agar manusia dapat mengendalikan diri dari tiga perbuatan utama: makan, minum, dan aktivitas seksual. Ketiganya merupakan al-syahwat al-nafsiyat yang bila berlebihan akan menjadi sumber persoalan dan kerugian bagi manusia. Kajian medis menunjukkan segala penyakit sebagian besar bersumber dari makan dan minum. Karena itu, Salim Ibn Abdullah al-Syatiri (2023: 6) mengatakan: al-bithnat ashl al-dai wa al-himyat ra’s al-dawa’ (kebanyakan makan-minum merupakan asal penyakit dan menjaga diri merupakan pangkal obatnya).  

Ulama sufi mendefinisikan puasa lebih spesifik lagi. Puasa tidak sekadar menghindari makan, minum dan hubungan suami-isteri di siang hari. Tetapi seluruh anggota badan kita (lisan, mata, telinga atau kaki) dan bahkan hati kita dipuasakan dari melakukan berbagai kemaksiatan kepada Allah SWT. Ghibah, fitnah, adu domba, hasad dan penyakit hati lainnya dibersihkan saat berpuasa.

Tidak makan dan minum merupakan hulu dan sasaran sementara berpuasa. Yang terberat dari puasa bukanlah urusan perut. Seorang yang sehat pasti mampu melakukannya. Perokok berat pun sanggup berpuasa. Tentu saja membutuhkan latihan. Tinggal niat dan komitmen saja, yakni kesungguhan diri sendiri untuk melakukan apa yang sudah diniatkan.

Hilirnya adalah mengendalikan dorongan-dorongan hati untuk melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Di sinilah simpul niat dan komitmen seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Harapan agar orang-orang yang berpuasa menjadi derajat takwa merupakan merupakan dampak sosial dan spiritual dari keberhasilan berpuasa. Lahirnya jiwa-jiwa suci yang selalu menebar kebaikan dan kemanfaatan pada kehidupan sekitar.

Kontrol diri

Dalam kajian psikologi, kita mengenal konsep kontrol diri (self control). Salah satu definisi kontrol diri menyebutkan, kemampuan seseorang untuk membimbing tingkah laku sendiri atau kesanggupan untuk menekan atau merintangi terjadinya perbuatan impulsif (Chaplin, 2006: 450). Kontrol diri juga berkaitan dengan kemampuan individu menahan dan mengelola emosi dan dorongan dalam dirinya (Ghufron & Risnawita, 2016). Seseorang yang memiliki kontrol diri yang baik, ia akan berpikir panjang sebelum bertindak. Ia selalu mempertimbangkan semua konsekuensi dari setiap tindakan yang diputuskan. Jika konsekuensinya maslahat, hati dan pikirannya mantap untuk mengeksekusi pilihannya. Jika sebaliknya, mungkin ia harus mengurungkan niat dan menahan diri untuk meneruskan keputusannya. Jika ia nekat, ada potensi kerugian yang bakal didapat.

Pada umumnya, orang dewasa memiliki kontrol diri jauh lebih baik dari pada anak-anak. Keadaan itu dipengaruhi dengan usia, kematangan jiwa, pengalaman hidup, pendidikan, lingkungan sekitar dan religiusitas. Kontrol diri bukan perilaku given semata. Perjalanan dan ujian hidup mematangkan kontrol diri seseorang.

Saya masih ragu, apakah makna puasa (al-imsak) setara dengan konsep kontrol diri? Sebagian ahli menyatakan, padanan kontrol diri dalam Islam adalah mujahadah an-nafs (bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu). Kalau melihat karakteristiknya, kontrol diri atau mujahadah an-nafs merupakan bagian dari makna dan hakikat puasa.

Bagaimanapun puasa merupakan ajaran yang melibatkan aspek lahir dan batin pelakunya. Puasa tidak sekadar kontrol diri, tetapi suatu ibadah yang bersifat khusus. Tepat bila Ramadan disebut sebagai madrasah ruhani yang diharapkan akan menjadikan pelakunya sebagai muttaqin. Suatu derajat insan kamil, di mana kualitas kesalehan sosial, ritual dan sekaligus spiritual menyatu dalam dirinya.

Pondasi etis

Saya meyakini bahwa puasa mengajarkan banyak hal, termasuk etika kehidupan. Menahan atau kontrol diri merupakan pondasi etis yang dapat menopang agar individu, masyarakat dan bahkan dunia ini dapat rukun dan damai. Egoisme dan impuls destruktif terbukti menjadi penyebab berbagai persoalan sosial.  

Ilustrasi berikut mungkin dapat memperjelas asumsi di atas. Katakanlah, kita ingin marah. Dari semua sisi kita memang boleh atau bahkan wajib marah, tetapi kita tahan untuk tidak marah. Sebagus-bagusnya marah, bahkan marah sekadar akting sekalipun, sungguh berdampak buruk, baik bagi diri sendiri apalagi bagi orang. Minimal ada orang yang sakit hati akibat akting marah kita tidak terkontrol, apalagi kalau marah yang sesungguhnya.

Marah berdampak negatif. Benda-benda di sekitar orang yang marah, berpotensi rusak. Hubungan sosial juga rusak. Kesehatan jantung kita akan terganggu. Islam mengajarkan cara mengelola amarah yang bergejolak. Mulai dari wudlu hingga melaksanakan salat sunnah dan membaca kitab suci. Tujuannya agar amarah tidak meledak.

Laku puasa juga bermanfaat dalam konteks kehidupan sosial-politik. Menahan diri untuk tidak asal bicara, mem-posting berita atau opini provokatif, fitnah, ujaran kebencian, lebih-lebih di tahun politik seperti sekarang, merupakan aplikasi puasa yang berdampak baik bagi kehidupan publik. Semua jenis kegaduhan yang terjadi—lebih-lebih yang berbau fitnah atau hoaks—akibat kita tidak mampu menahan diri. Bahwa publik boleh dan berhak bersuara, tetapi jika tidak ada manfaatnya, tentu lebih baik ia diam. Itulah puasa bicara.

Perang juga tidak mungkin terjadi, jika setiap pemimpin memiliki kontrol diri terbaik untuk menghindari keputusan dan perilaku yang menambah persoalan menjadi tambah rumit. Mungkin seorang pemimpin berlindung di balik martabat bangsa dan negara yang harus dilindunginya. Tetapi saya meyakini bahwa peperangan bukan solusi dari persoalan dunia ini.

Berbagai peribadatan dalam bulan Ramadan, seperti kemampuan untuk menahan diri (berpuasa), toleransi (menghargai yang berpuasa maupun tidak berpuasa) kolaborasi, bersinergi, silaturahmi (diwujudkan dalam shalat berjamaah atau buka bersama), berbagi (zakat, infak, sedekah, pemberian makan berbuka puasa), cinta ilmu dan rasionalitas (kajian dan ceramah Ramadan) dan berempati pada penderitaan orang lain, merupakan nilai-nilai etis yang dapat berfungsi sebagai pondasi kehidupan sosial yang lebih beradab. Aktualisasi nilai-nilai etis tersebut dapat menjadi modal sosial untuk percepatan pembangunan nasional.

Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama RI