TEMPO.CO, Jakarta - Najmatul Millah adalah seorang pemilik pesantren yang peduli terhadap hak perempuan. Hal ini ia lakukan lantaran banyak santrinya yang menikah dini atau di bawah umur. Melihat miris nasib para santrinya, ia pun membangun sekolah formal di dalam pesantren.
Dikutip dari Majalah Tempo edisi 25 Juli 2020, sekitar 200 santri tinggal di pesantren miliknya, Nurul Jadid Al-Islami. Pesantren ini bukan hanya sebuah pesantren salafiyah yang hanya mengajarkan kitab. Pondok yang didirikan Najma dan suaminya, Abdul Muhaimin, pada 2008 ini mempelopori lahirnya sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di desa yang terletak sekitar 20 kilometer sebelah utara Jember tersebut.
Keprihatinannya bermula ketika ia diboyong oleh Muhaimin untuk tinggal di kompleks Pondok Pesantren Bustanul Ulum. Saat itu ia baru lulus dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang. Najmatul dikejutkan oleh banyaknya anak putus sekolah di lingkungan barunya. Sangat berbeda dengan Wonorejo di lingkungannya dulu santri tetap bersekolah hingga ke peguruan tinggi.
Menurut dia, anak perempuan Sumberwringin bernasib malang. Banyak dari mereka tak melanjutkan sekolah dan kerap dipaksa menikah di usia belia. “Saat itu, mbak-mbak di pesantren ini sering menghadiri undangan pernikahan temannya yang baru lulus sekolah dasar,” kata Najwa.
Setelah setahun tinggal di Sumberwringin, Najma menyimpulkan bahwa alasan banyaknya anak perempuan menikah dini salah satunya adalah tak ada sekolah formal lanjutan. Ia dan suaminya lantas membangun sekolah dengan memanfaatkan ruangan tak terpakai di Pondok Pesantren Bustanul Ulum. Awalnya, sekolah ini hanya memiliki sembilan orang siswa, semuanya bukan anak Desa Sumberwringin.
Seiring berjalannya waktu, warga desa yang semula antipati, perlahan mulai mendukung sekolah ini. Siswa Najma bertambah, hingga tiga tahun berlalu sembilan murid angkatan pertama lulus. Kebutuhan untuk pengembangan sekolah datang, berbekal tanah wakaf mertua Najma dan Muhaimin mendirikan pondok pesantren sendiri yang kini dikenal dengan nama Nurul Jaidid Al-Islami. Najma memimpin yayasan yang menaungi pondok pesantren, sedangkan Muhaimin menjadi kepala sekolah untuk pendidikan formal berupa SMP dan sekolah menengah kejuruan.
Sebenarnya tak mudah bagi Najmatul mengawali dakwahnya. Keberadaan sekolah formal di dalam pesantren menjadi biang pertentangan dari masyarakat sekitar, termasuk di antara keluarga besar suaminya yang menganggap merusak tradisi. “Katanya di akhirat tidak ditanyai soal matematika, bahasa Inggris itu haram karena bahasa nonmuslim,” ujar Najma.
Namun hal itu tidak membuat nyali Najma ciut. Ia malah lebih melebarkan sayapnya lewat dakwah di luar jadwal mengajar santri. Lewat majlis taklim dia menyelipkan berbagai isu perempuan, dimulai dari pentingnya pendidikan hingga pentingnya masalah reproduksi dan ancaman perdagangan manusia. Beberapa hal ini lekat dengan perempuan di Jember.
Dua belas tahun berdiri, pondok pesantren ini telah meluluskan ratusan santri. Masalah lama belum usai sepenuhnya, tantangan baru mulai berdatangan. Menurut Najma, para lulusan SMK cenderung tertarik langsung bekerja setelah lulus karena mereka berpikir bekerja dapat langsung menghasilkan uang. “Saya ingin mereka lebih bersabar menimba ilmu agar tak melakoni pekerjaan kasar,” katanya.
YOLANDA AGNE
Baca juga: Kisah Najmatul Millah Menyadarkan Kesetaraan Gender