Kolom Ramadan: Tamparan Malu Ibu Penjual Pecel

Reporter

Editor

Amirullah

Ketua PBNU Robikin Emhas usia diskusi Setara Institute di AOne Hotel, Jakarta Pusat, 8 Februari 2018. Tempo / Friski Riana
Ketua PBNU Robikin Emhas usia diskusi Setara Institute di AOne Hotel, Jakarta Pusat, 8 Februari 2018. Tempo / Friski Riana

TEMPO.CO, Jakarta - Tidak sempat viral, tetapi saya merasa berita ini menarik diulas. Kejadiannya akhir April lalu. Dari salah satu media online nasional, pagi ketika menengok laman Twitter, saya dapati link dan membacanya. Berita ini cukup menggugah, sekaligus menampar malu rasa kemanusiaan kita.

Seorang perempuan paruh baya bernama Sunarsih sehari-hari berjualan pecel di pinggiran Kota Probolinggo, Jawa Timur. Di situ diberitakan, ia datang ke kantor Pemerintah Kota berniat menyumbang untuk mengatasi corona. Satu tas plastik uang koin senilai Rp 2 juta dia berikan. Dari penuturannya, uang itu sebenarnya tabungan pribadi untuk mendaftar umroh. Namun ia merasa bahwa bencana penyakit ini telah melahirkan kesulitan bagi banyak orang, dimana korban terdampak membutuhkan uluran tangan.

Melalui Ibu Sunarsih kita belajar. Mengatasi bencana penyakit, apalagi berstatus pandemi global, bukanlah tanggung jawab pemerintah semata. Melalui spontanitas sikapnya, Ibu Sunarsih seolah ingin menyampaikan pesan bahwa solidaritas sesama anak bangsa seharusnya ada pada tiap diri kita.

Rasa malu kita seharusnya tertampar oleh solidaritas ibu penjual nasi pecel ini. Karena kepekaan sosial kita kalah jauh dibanding spontanitas istri tukang kayu yang merelakan seluruh tabungan umrohnya bagi kemanusiaan. Aksi solidaritas kita masih sebatas kulit ari dalam menyikapi pandemi global.

Sementara agama sudah sejak dini mendidik kita untuk pandai-pandai memetik hikmah dalam setiap peristiwa. Jika wabah corona ini merupakan musibah atau ujian, bukankah kedatangannya adalah bagian dari proses pembelajaran dan pendewasaan mental spiritual kita? Bismillah tsumma na’udzu billah, saya tidak hendak meragukan sedikitpun apa-apa yang ditimpakan kepada kita adalah merupakan takdir-Nya. “Katakanlah; sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami,”.

Dalam mengimani takdir kita saat ini, ikhtiar seorang hamba hanya mungkin dalam tiga kerangka. Pertama, mempercayai sepenuhnya bahwa Allah memiliki rencana terperinci dan terbaik untuk semua hamba-Nya. Tidak akan ada takdir baik dan takdir buruk kecuali tersimpan hikmah di dalamnya. Kedua, ikhtiar seorang hamba hanya mungkin selaras dengan daya-upayanya jika disertai dengan ketundukan bahwa hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan. Dan ketiga, ikhtiar yang kita lakukan adalah merupakan ibadah.

Memang tak terbantahkan Covid-19 adalah wabah mematikan. Tetapi tak perlu berlebihan menakutinya atau memandangnya sebagai keburukan. Orang-orang beriman pastilah meyakini, pada setiap kepedihan dan kesulitan selalu beserta kebaikan dan kemudahan. Sesuai perintah agama, tugas kita melakukan ikhtiar terbaik, secara batiniah maupun lahiriah, dalam menjaga kesehatan diri dan keselamatan masyarakat.

Kearifan Lokal Jangkar Mitigasi Bencana

Kembali ke cerita awal saya tentang berita ketulusan seorang ibu paruh baya bernama Sunarsih. Nilai uang Rp 2 juta memang tidak seberapa dibanding kebutuhan penanganan wabah Covid-19 di tingkat pemerintah kota. Namun nilai ini sangat besar dari kemampuan seorang perempuan penjual nasi pecel yang merupakan istri tukang kayu itu. Dan tentu sangat berharga karena uang yang disumbangkan adalah tabungan mandiri yang diselipkan dari hasil berjualan nasi pecel sehari-hari, yang sesungguhnya untuk memenuhi cita-citanya berangkat umroh.

“Saya lihat di televisi ada anak kecil kayak cucu saya menyumbang untuk membantu di masa pandemi virus corona ini. Anak kecil saja bisa mikir corona, masak saya orang dewasa tidak,” kata Sunarsih di berita itu.

Ibu Sunarsih serasa mengkonfirmasi kebenaran tesis para sosiolog dunia. Penggagas fenomenologi kelahiran Jerman, Martin Heidegger, menyebut setiap manusia pada dasarnya selalu terhubung dengan kesadaran diri mengenai diri dan realitas bencana di sekitarnya. Dan kesadaran diri itu pada gilirannya se­lalu melahirkan watak kemanusiaan yang kita sebut sebagai solidaritas sosial.

Sebagaimana ditunjukkan lewat spontanitas Ibu Sunarsih, situasi pandemi sudah seharusnya mampu menggerakkan solidaritas masyarakat secara masif dan spontan. Dengan kesadaran diri, wajarnya orang, akan mudah terketuk, cepat tergugah dan secara komunal menggugah kesadaran orang-orang lain di sekitarnya. Sehingga lahir kesadaran kolektif untuk melakukan gerakan solidaritas sosial.

Paket sikap simpatik Ibu Sunarsih sesungguhnya adalah wajah otentik local wisdom kita. Kita masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang hidup di tengah-tengah rutinitas bencana. Bencana, terlebih yang bermuara pada alam, telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Kearifan lokal masyarakat lah kekuatan terdepan untuk mengurangi resiko dampak bencana. Masyarakat boleh berharap pada Rp 24,47 triliun Bantuan Langsung Tunai Dana Desa yang sedang digelontorkan pemerintah maupun kebijakan serupa lainnya. Akan tetapi, mengingat tidak sedikitnya kebutuhan dan banyaknya jumlah korban terdampak, anggaran ini tetaplah merupakan angka yang terbatas bagi korban terdampak corona. Kearifan lokal, hemat saya, adalah jangkar mitigasi bencana yang tak terbatas.

Penulis: KH Robikin Emhas, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)