Salafisme Sejati Menurut Muhammad Abduh (2)

Editor

Suseno TNR

REUTERS/Yusuf Ahmad
REUTERS/Yusuf Ahmad

TEMPO.CO - Karena itulah Abduh percaya bahwa antara wahyu dan akal pada hakikatnya tidak mungkin ada pertentangan. Lantas bagaimana kalau keduanya selintas bertentangan? “Akal,” kata Abduh dalam Risalah,“mesti meyakini bahwa yang dimaksudkan bukanlah arti yang harfiah.”Di tempat lain ia berujar,“Dalam kasus di mana terjadi konflik antara akal dan naql (teks Quran dan sunah), maka yang dimenangkan adalah konklusi akal. Dan dalam menyikapi dalil naqli yang seperti ini terdapat dua pilihan: membiarkannya seperti apa adanya sambil mengakui ketidakmampuan kita untuk memahaminya dan memasrahkan perkaranya kepada Allah atau menafsirkan teks tersebut, dengan berpedoman pada kaidah bahasa, sedemikian rupa sehingga maknanya sesuai dengan kesimpulan akal”(Al-Islam wa al-Nashraniyyah).

Pendirian Abduh ini tecermin dalam fatwa-fatwanya ketika ia menjadi mufti agung di Mesir, seperti fatwa antipoligami. Menurut Abduh, poligami sudah membudaya sebelum Islam. Dan aturan Islam tentang poligami lebih bersifat membatasi ketimbang mengumbarnya. Abduh lalu menambahkan, ayat yang membolehkan beristri sampai empat orang mengandung syarat keadilan yang mesti dipenuhi suami. Padahal ayat lain menegaskan bahwa para suami tidak bakal bisa berbuat adil, meski mereka berusaha keras untuk itu. Situasi semacam ini, ditambah dengan observasi Abduh sendiri tentang banyaknya kasus penyalahgunaan poligami pada masanya, lantas mendorongnya untuk berfatwa melarang poligami. Alasannya demi menjaga mashlahah (kepentingan publik).

Penekanan Abduh pada peran sentral akal dalam Islam ini tak ayal membuatnya menuai tuduhan sesat, dianggap sebagai pengikut sekte mu’tazilah dan seterusnya.
Tapi sebenarnya salafisme Abduh tersebut terbit dari kemandiriannya dalam berijtihad. Suatu kemandirian sikap yang menurut penilaian Profesor Harun Nasution
dalam Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987) bahkan lebih rasionalis ketimbang mu’tazilah.

Penggambaran Muhammad Abduh yang menampilkan salafisme sebagai Islam rasional barangkali terasa mengejutkan, mengingat kesan umum tentang salafisme sekarang justru ekstrem kebalikannya. Salafisme kini sering dinisbatkan dengan Wahabisme, model Islam yang dipraktekkan di Arab Saudi. Paham yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada akhir abad ke-18 ini mewajibkan kaum muslim untuk kembali kepada Quran serta hadis secara harfiah dan tidak memberi tempat
kepada akal.

Sebenarnya baru sejak 1970-an saja kaum Wahabi menyebut diri “salafi”. Pada awalnya, seperti dipaparkan Hamid Algar dalam Wahhabism: A Critical Essay (2002), kalangan Wahabi menamakan diri sebagai muwahhidun. Sebutan ini mengacu pada konsepsi mereka yang “radikal”tentang tauhid.Tauhid yang benar bagi mereka tidak hanya mengakui Allah sebagai Tuhan yang esa, tapi juga kesediaan untuk menghambakan diri hanya kepada-Nya.

Ketika Arab Saudi, berkat berkah minyak, tiba-tiba menjadi negara petro dolar, terbukalah kesempatan bagi kaum Wahabi untuk mengekspor pahamnya ke seantero jagat muslim.Tapi para pengikut aliran ahlussunnah wal jama’ah di luar Arab Saudi banyak yang menampiknya. Ini mendorong kaum Wahabi untuk mempermak citra mereka, di antaranya dengan melabeli diri sebagai Islam salafi. Mereka mengklaim sebagai pengikut Ibn Taimiyah, yang notabene penganut mazhab Hanbali. Dari sinilah pengidentikan antara salafisme dan Wahabisme bermula.

Secara selintas, terdapat kemiripan antara salafisme Wahabi dan salafisme Abduh.Keduanya sama-sama menjadikan Islam yang diamalkan generasi salaf yang saleh sebagai model teladan, sama-sama merujuk langsung ke Quran dan sunah ketimbang bersandar pada otoritas mazhab dan pendapat ulama, serta menekankan kemurnian tauhid.Tapi kemiripan tersebut hanya berhenti di situ. Itu pun hanya sebatas pada kulit, karena sesungguhnya jurang pembeda di antara keduanya nyaris tak terjembatani.

*) AKHMAD SAHAL, Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada
(Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, 19 Agustus 2011)