Cerita Mahasiswa Katolik 'Nyantri' di Pesantren  

Ilustrasi mengaji Kitab Kuning. ANTARA/Rudi Mulya
Ilustrasi mengaji Kitab Kuning. ANTARA/Rudi Mulya

Yofranny paling terkesan dengan kebersamaan dan persaudaraan antar santri. Selama ini ia kerap bertanya-tanya kenapa ada umat Islam yang ekstrem, yakni berbuat kekerasan, bermusuhan dengan umat lain, bahkan terlibat aksi terorisme.

Setelah mengaji bersama, Yofranny memahami Islam tak mengajarkan kekerasan, tapi cinta kasih dan saling menghormati. “Sebelumnya kami tidak tahu ada beragam kelompok dalam Islam. Setelah ada penjelasan dari Pak Ustad jadi mengerti,” ujarnya.

Yofranny juga belajar mengenakan sarung, busana khas para santri selama di pesantren. Sarung tak hanya dikenakan saat salat atau mengaji. Sarung juga pas saat bersantai saat ngobrol dan diskusi bersama para santri.

Salah satu santri, David Darissalam, yang mendampingi mahasiswa non-muslim selama di pesantren mengaku bangga mengenalkan tradisi dan kebiasan para santri.

Para mahasiswa diajak mengenal serangkaian ibadah selama bulan puasa. Mulai dari bangun untuk makan sahur bersama, mengenalkan salat berjemah, salat tarawih dan bertadarus. “Tiap pagi kami juga ajak makan sahur. Kalau ternyata enggak kuat bangun, ya kami biarkan saja," katanya.

Kebersaman mereka selama dua hari telah menumbuhkan sikap toleransi dan saling menghormati antar umat beragama. Menghilangkan semua curiga, prasangka, dan pandangan negatif dengan agama lain. "Ternyata akhirnya semua kita memang punya keyakinan masing-masing, tapi harus saling menghormati,” katanya.

OBOR rutin diselenggarakan setahun dua kali. Tahun kedua, kegiatan ini melibatkan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi bekerja sama dengan Gusdurian Malang. Pendamping mahasiswa Purnomo berharap setelah mengikuti program ini mahasiswa lebih peka terhadap isu toleransi, tak mudah tersulut emosi, dan menjauhi kebencian.

Usai tinggal bersama dengan keluarga yang agamanya berbeda, para peserta beragama Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu bertemu bersama. Mereka berdialog melibatkan para pemuka atau pemimpin masing-masing umat. "Toleransi kan saling menghormati. Tadi sudah dijelaskan Pak Ustad untuk toleransi itu dasarnya iman,” ujarnya.

Setelah kembali ke komunitas masing-masing, mereka tetap menjalin komunikasi untuk merawat keberagaman dan saling menjaga toleransi. Berpegang teguh dengan semboyan Bhineka Tunggal ika.  

EKO WIDIANTO

Baca juga:

Budi Waseso Dinilai Sudutkan Syafii, Muhammadiyah Dihina?
Ribut Polisi Vs KY, Buya Syafii: Negara Gali Kubur Sendir