3 Level Puasa, Anda Masuk Golongan Mana?

Seorang warga membaca al-quran sembari menunggu waktu berbuka puasa di masjid Istiqlal, Jakarta, 19 Juni 2015. TEMPO/Frannoto
Seorang warga membaca al-quran sembari menunggu waktu berbuka puasa di masjid Istiqlal, Jakarta, 19 Juni 2015. TEMPO/Frannoto

TEMPO.CO, Jakarta - Berpuasa di bulan suci Ramadan adalah kewajiban bagi kaum muslimin. Puasa adalah menahan dari makan dan minum serta hal lain yang membatalkannya. Puasa dimulai fajar hingga terbenamnya Matahari.

Sebagaimana diketahui, tujuan diperintahkannya puasa ialah agar kita menjadi orang–orang yang bertaqwa kepada Allah swt. Pada taqwa itu kita diperintahkan supaya lebih mengutamakan penghindaran diri terhadap segala larangan-Nya, tidak hanya mentaati perintah-Nya.

Oleh karenanya nilai ketaqwaan dalam puasa berada dalam satu rumpun dengan kesabaran. Lantas bagaiman caranya supaya kita bisa mencapai ketaqwaan dalam berpuasa?

KH Marsudi Syuhud, Pengasuh Pesantren Ekonomi Darul Uchwah, Kedoya, Jakarta Barat, mengatakan bahwa mengukur kekuatan dalam menjalankan ibadah, khususnya ibadah puasa, perlu kita ketahui.

“Hal ini menjadi penting supaya kita bisa memperbaiki kekurangan–kekurangan apa saja yang ada dalam ibadah kita,” katanya.

Terkait dengan hal itulah, katanya, kemudian seorang tokoh sufi Imam Ghazali mengklasifikasikan secara bertingkat model puasa, seperti tertulis dalam kitabnya IhyaUlumuddin.

Dalam kitabnya itu, Imam Ghozali memaparkan bahwa puasa itu ada tiga tingkatan.

Pertama shaumul umum, yang bisa diartikan dengan puasa biasa-biasa saja. Ini puasanya kebanyakan orang, yang hanya menahan lapar, dahaga, dan syahwat, menjaga mulut, dan alat kelamin dari hal-hal yang membatalkan puasa.

Kedua, shaumul khushus atau puasa khusus (puasanya orang- orang tertentu) yaitu puasa dengan menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota tubuhnya dari hal – hal yang membuat ia berdosa atau berbuat maksiat.

Ketiga, shaumul khususil khusus (puasa istimewa) yaitu puasa dengan menahan hati dan pikiran dari keraguan mengenai hal-hal keakhiratan, dan menahan dari segala masalah keduniaan, serta menjaga diri dari berpikir selain Allah swt.

Oleh karena kita harus bisa menilai diri kita sendiri, sudah sampai manakah puasa kita. Jika selama 12 hari ini kita berpuasa seperti puasanya orang yang biasa-biasa saja (shaumul umum) maka di sisa puasa yang ada marilah kita bersama-sama meningkatkan puasa kita menjutingkatan puasa spesial (shaumum khushus).

Dan, dengan penuh harapan dan keyakinanakan mampu meraih puasa istimewa (shaumul khusushil khusus). “Itulah puasanya para nabi dan shiddiqin,” kata kiai Marsudi.

BISNIS.COM