Buka Puasa di Kelenteng, Shinta Nuriyah Ajarkan Toleransi

Editor

Kurniawan

Shinta Nuriyah Abdurachman Wahid pada acara peluncuran Abdurrahman Wahid Center dan diskusi Agama dan Toleransi di Persimpangan Jalan di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu 18 Juli 2012. TEMPO/Subekti
Shinta Nuriyah Abdurachman Wahid pada acara peluncuran Abdurrahman Wahid Center dan diskusi Agama dan Toleransi di Persimpangan Jalan di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu 18 Juli 2012. TEMPO/Subekti

TEMPO.COKudus - Shinta Nuriyah Wahid, istri Abdurrahman Wahid, melakukan buka puasa bersama ribuan santri pondok pesantren dan anak yatim piatu panti asuhan se-Kabupaten Kudus di Kelenteng Hok Hien, Kudus, Jawa Tengah, Ahad, 28 Juni 2015.

Sebelum waktu berbuka puasa tiba, Shinta melakukan sejumlah dialog dengan tamu undangan yang hadir. Di sela-sela acara ia mengajukan pertanyaan kepada para hadirin. "Apa sih corak utama dasar dari negara kita?" tanyanya. Ada yang menjawab Pancasila dan ada juga yang menjawab Bhinneka Tunggal Ika.

Lalu Shinta menjawab, "Pancasila merupakan dasar dari negara Republik Indonesia. Tetapi yang menjadi corak dasar negara kita ialah Bhinneka Tunggal Ika. Ini karena Indonesia berasal dari berbagai suku, budaya, agama serta adat istiadat, berbeda-beda, tetapi tetap satu kesatuan."

Shinta mengatakan berbuka puasa di kelenteng atau melakukan sahur bersama sejumlah kaum yang termarjinalkan bukanlah hal yang baru baginya. Namun, dari setiap momen itulah dia mendapatkan hal-hal luar biasa dan pembelajaran yang baik tentang pentingnya toleransi. "Dan inilah Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tetapi kita ini satu," kata Shinta.

Tuturan Shinta itu rupanya mengena di hati santri Al-Qudsiyah Kudus, Najah, 14 tahun. Selama ini Najah belajar dan hidup di lingkungan pondok pesantren dan sering diajarkan tentang akhlak bertoleransi antarsesama. Namun bagi siswa Madrasah Tsanawiyah Kelas 9 ini, arti toleransi antarumat beragama hanya sebatas menghargai umat agama lain yang beribadah. "Ternyata toleransi itu lebih luas maknanya. Saya sebelumnya enggak pernah berpikir bisa berbuka puasa di kelenteng," ujarnya.

Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Pusat Uung Sendana mengatakan acara ini sebagai bentuk cara bertoleransi antarumat beragama di Indonesia. Diharapkan hal semacam ini dapat mewujudkan rasa saling mengasihi, melindungi dan menjalin rasa kebersamaan antarumat beragama. Dengan begitu maka akan tercipta rasa aman dan percaya satu sama lain. "Bangsa kita sedang membutuhkan hal semacam ini. Hal-hal positif yang bisa mempersatukan keberagaman," ujarnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Forum Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah pendeta Bambang Pujianto. Menurut dia, acara semacam ini membuktikan bahwa umat beragama di Indonesia tidak dapat dikotak-kotakkan, terutama dengan kondisi bangsa yang saat ini tengah mengalami sejumlah cobaan.

"Sudah tentu hal terkait kebangsaan tidak bisa diselesaikan jika kita terkotak-kotak. Mari bersama-sama kita bangun bangsa ini menjadi lebih besar, menjadi bangsa yang lebih harmonis, agar bersih dari hal-hal yang memalukan dan hal yang ingkar dari jalan Tuhan," kata dia.

FARAH FUADONA