Hari Ini Rabu Wekasan dan Asal-usul Anggapan Bulan Safar Bulan Sial

Reporter

Petugas berpakaian adat disaksikan warga mengarak menara saat puncak pelaksanaan Festival Mandi Safar 1441 Hijriah di Pantai Babussalam, Air Hitam Laut, Sadu, Tanjungjabung Timur, Jambi, Rabu 23 Oktober 2019. Festival Mandi Safar yang diikuti ribuan warga dan dilaksanakan setiap Rabu terakhir pada bulan Safar tersebut berangkat dari tradisi masyarakat Bugis di daerah itu. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Petugas berpakaian adat disaksikan warga mengarak menara saat puncak pelaksanaan Festival Mandi Safar 1441 Hijriah di Pantai Babussalam, Air Hitam Laut, Sadu, Tanjungjabung Timur, Jambi, Rabu 23 Oktober 2019. Festival Mandi Safar yang diikuti ribuan warga dan dilaksanakan setiap Rabu terakhir pada bulan Safar tersebut berangkat dari tradisi masyarakat Bugis di daerah itu. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

TEMPO.CO, Jakarta - Rabu wekasan atau Rebo Wekasan adalah salah satu tradisi yang hidup dan berkembang di sebagian kalangan Umat islam di Indonesia.

Seperti dari namanya, Rabu wekasan adalah Rabu pungkasan atau Rabu terakhir di Bulan Safar. Tahun 2021 ini, Rabu wekasan jatuh pada hari ini, 6 Oktober 2021. 

Lalu apa itu tradisi Rabu Wekasan atau Rebo Wekasan?

Sebelumnya, kita perlu mengetahui asal-usulmengapa tradisi itu muncul dan hidup di masyarakat.  Merujuk pada kalender Hijriah, saat ini kita sedang berada di bulan Safar, bulan kedua setelah Muharram.

Dilansir dari laman jabar.nu.or.id, Safar berarti “sepi” atau “sunyi” sesuai keadaan masyarakat Arab yang selalu sepi pada bulan tersebut. Imam Katsir dalam Kitab “Tafsir Ibnu Katsir  mengatakan bahwa maksud sepi di sini adalah senyapnya rumah-rumah orang Arab karena ditinggalkan untuk berperang dan bepergian.

Hal ini juga dibenarkan oleh Imam Ibnu Manzhur dalam kitab “Lisanul Arab” yang mengatakan bahwa pada bulan Safar, orang Arab memiliki kebiasaan memanen semua tanaman yang mereka tanam, dan mengosongkan tanah-tanah mereka dari tanaman serta kebiasaan memerangi setiap kabilah yang datang.

Bulan Safar yang digambarkan secara suram oleh para ahli kitab membuat masyarakat menganggap bahwa di Bulan Safar akan terjadi musibah yang luar biasa dan akan terjadi cobaan yang melebihi bulan-bulan lainnya. Keyakinan ini bahkan menyebar dan diakui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Robikin Emhas, Ketua Bidang Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mengatakan bahwa anggapan Safar sebagai bulan bencana adalah kebetulan belaka. Ia mencontohkan peristiwa angin topan yang menimpa kaum Aad di zaman Nabi Hud.

Kejadian itu tidak bisa dianggap mewakili isyarat kesialan atau kebencanaan yang akan terjadi di bumi. Sebab, tidak terus-menerus bencana datang saat bulan Safar.

Dugaan tidak berdasar ini juga dibantah oleh Ibnu Rajab al-Hanbali. Ia mengatakan bahwa bulan Safar tidak memiliki perbedaan dengan bulan lain. Pada bulan Safar, terjadi kebaikan dan keburukan.

Singkatnya, tidak boleh menganggap bulan Safar sebagai bulan yang dipenuhi oleh kejelekan dan musibah. Ibnu Rajab juga mengatakan bahwa indikator dari baik dan tidaknya suatu zaman tidak dapat dilihat dari kejadian-kejadian yang terjadi di dalamnya.

Pada bulan Safar, kata Robikin, banyak juga peristiwa baik yang terjadi. Misalnya, penemuan air zamzam di Masjidil Haram dan penemuan sumber air oleh Sunan Giri di Gresik, Jawa Timur. Sementara itu, terkait cuaca buruk yang acap terjadi berbarengan dengan bulan Safar, ia mengatakan hal itu murni siklus tahunan.

Nabi Muhammad bahkan sempat bersabda “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR al-Bukhari).

Nabi Muhammad ingin mengatakan bahwa baik buruknya suatu bulan adalah tergantung dengan kita. Apakah diisi dengan kebaikan atau keburukan. Karena semua kejadian adalah murni karena kehendak Allah. Maka, apabila kita mengisi bulan Safar dengan amalan-amalan, dengan restu Allah, bencana akan menjauh.

Atas dasar ini, kemudian masyarakat Indonesia sering melakukan amalan-amalan pada Rabu terakhir dibulan Safar, yang oleh orang Indonesia disebut dengan istilah rebo wekasan, rebo kasan, rebo pungkasan, atau istilah lain yang maksudnya adalah hari Rabu terakhir di bulan Safar.

Terdapat beberapa amalan yang dapat dilakukan pada saat rebo wekasan, antara lain shalat, zikir, berdoa, dan tabarruk terhadap asma Allah atau ayat-ayat Al-Qur’an yang atau yang dikenal dengan Selamat.

NAUFAL RIDHWAN ALY

Baca juga: Tepat di Rabu Wekasan, Puncak Festival Mandi Safar di Jambi