Musaharati, Tradisi Ronda Sahur Warisan Khalifah Fatimiyah

Editor

Elik Susanto

Michel Ayoub, seorang Nasrani menabuh drumnya saat membangunkan warga Muslim untuk sahur di Arce, Israel, 20 Juni 2016. Dini hari setiap bulan Ramadan, Michel akan menabuh drumnya seraya berteriak membangunkan para tetangga Muslimnya untuk melaksanakan sahur. REUTERS/Ammar Awad
Michel Ayoub, seorang Nasrani menabuh drumnya saat membangunkan warga Muslim untuk sahur di Arce, Israel, 20 Juni 2016. Dini hari setiap bulan Ramadan, Michel akan menabuh drumnya seraya berteriak membangunkan para tetangga Muslimnya untuk melaksanakan sahur. REUTERS/Ammar Awad

TEMPO.CO, Jakarta - Ronda sahur ada di mana-mana. Tanpa dibayar mereka keliling kampung atau kompleks perumahan pada dinihari. Namun di Mesir, membangunkan orang sahur menjadi pekerjaan yang menghasilkan. Uniknya, di sana kegiatan ini ada yang dilakukan oleh seorang perempuan.

Dalal Abdul Qader, nama perempuan tersebut, setiap pukul 02.00 berjalan ke gang-gang sambil memukul tambur untuk membangunkan warga agar bersiap melaksanakan sahur.  "Saya bukan hanya membangunkan orang untuk sahur, tapi juga berusaha membawa kebahagiaan kepada anak-anak yang mengikuti saya selama perjalanan saya setiap malam," kata perempuan 20 tahun ini.

Pekerjaan Dalal ini dalam bahasa setempat disebut musaharati atau misaharaty. Setiap kali Dalal berkeliling dan memukul tamburnya, anak-anak segera keluar ke jalan dan mengelilingi dia dengan penuh kebahagiaan. Anak-anak tersebut terus mengikuti perempuan itu sampai ia menyelesaikan tugasnya.

Dalal juga memasukkan unsur agama dalam kegiatannya. Sembari memukul tambur, dia menyanyikan lagu tradisional yang berisi pesan-pesan keagamaan. Saat ia berjalan, lampu menyala dan orang mulai menyiapkan sahur, sementara anak-anak melongok dari jendela dan melambaikan tangan ke arahnya.

"Saya merasa sangat dicintai… orang di sini menghormati saya dan ini membuat saya merasa sangat bahagia," kata Dalal sembari melambaikan tangan kepada seorang perempuan yang menyapa dia dari jendela tempat tinggalnya.

Bagi Dalal, kegiatan musaharati ini tidak hanya untuk mencari nafkah, melainkan juga menghidupkan tradisi lama dan menghadirkan kebersamaan di setiap keluarga. "Melihat keluarga-keluarga berkumpul untuk makan sahur, rasanya sungguh tak ternilai."

Dalal menjalani kegiatan sebagai musaharati setiap hari dari pukul 23.00 sampai 02.00. Ia mengaku tak pernah merasa lelah atau bosan karena mendapatkan apresiasi dari setiap orang yang ia temui. Sehari-hari, Dalal bekerja di sebuah binatu di Kairo. Khusus pada Ramadan, dia bekerja sebagai musaharati. Alasan dia menjalani pekerjaan ini adalah mengenang kakaknya yang meninggal enam tahun lalu. Kakak Dalal juga bekerja sebagai musaharati setiap Ramadan.

Tradisi musaharati berawal dari Kekhalifahan Fatimiyah sembilan abad lalu. Pada waktu itu, musaharati diperlukan untuk membangunkan orang agar sahur saat Ramadan karena belum ada jam beralarm atau pengeras suara di masjid.

Musaharati biasanya dikerjakan seorang laki-laki. Dalal menyatakan warga di lingkungannya tak merasa aneh melihat seorang perempuan muda bekerja sebagai musaharati. “Sebab, banyak perempuan di Mesir yang sudah bekerja di bidang laki-laki, seperti menjadi montir mobil, pengemudi truk, atau pekerja bangunan.”

Seorang warga, Eid Hussein, 54 tahun, termasuk yang sangat mengapresiasi kehadiran musaharati setiap Ramadan. "Ramadan tak berarti tanpa musaharati," kata dia. "Kebanyakan orang mungkin melek sampai sahur, yang lain memiliki teknologi baru untuk membangunkan mereka. Tapi tetap saja musaharati menjadi daya tarik pada bulan suci."

Pekerjaan musaharati memang menjadi mata pencaharian baru bagi sebagian orang saat Ramadan. Dalal mengaku akan mendapatkan bayaran pada akhir bulan dari orang-orang yang biasa ia bangunkan setiap sahur. Saat waktu imsak, Dalal mengakhiri pekerjaannya membangunkan orang dan mulai mengucapkan selamat berpisah kepada anak-anak yang mengikuti dia sepanjang perjalanannya.

PRAGA UTAMA | ANTARA