Taman Pendidikan Al-Quran di Bekas Lokalisasi

Aktivitas mengaji Al Quran di Jauharotul Hikmah, yang terletak di kawasan eks lokalisasi Putat Jaya atau Dolly. TEMPO/ARTIKA FARMITA
Aktivitas mengaji Al Quran di Jauharotul Hikmah, yang terletak di kawasan eks lokalisasi Putat Jaya atau Dolly. TEMPO/ARTIKA FARMITA

TEMPO.CO, Surabaya - Suara bacaan Al-Quran menggema di dalam ruangan berwarna serba hijau di gang Putat Jaya 4B Timur, Surabaya. Bocah laki-laki berkopiah tampak mondar-mandir sembari menenteng buku panduan membaca Al-Quran. Siswa kelas III SD itu sibuk mengusili kawannya yang perempuan. “Pratama! Balik lungguh!” seru gurunya, Lina Nurjanah, menyuruh anak laki-laki itu duduk.

Situasi itu berbeda jika dibandingkan dengan tiga tahun lalu. Di lokasi yang sama, pada waktu itu, keramaian didominasi suara dangdut koplo dari rumah karaoke dan bordil. Lokasi ini memang berada di tengah-tengah kawasan yang dikenal dengan nama Gang Dolly. “Dulu kalau anak-anak ngaji, kalah dengan suara musik,” Lina mengenang. Perempuan 28 tahun itu mengajar mengaji di Jauharotul Hikmah sejak awal taman pendidikan Al-Quran itu berdiri pada 2008.

Dolly yang dulu tenar sebagai daerah lokalisasi terbagi menjadi beberapa kawasan. Ada Kupang Gunung Timur untuk pekerja seks kelas atas, Jalan Jarak, dan puluhan gang di Putat Jaya untuk yang menengah ke bawah. Jauharotul Hikmah—atau biasa disingkat JH—sengaja didirikan di tengah salah satu gang paling laris di kawasan Dolly.

Pembangunan taman pendidikan Al-Quran di Dolly, menurut Mokhammad Nasikh, salah satunya adalah untuk mengingatkan para pengunjung lokalisasi itu. Nasikh, yang bertanggung jawab sebagai pembina harian JH, pernah menemui kisah itu secara nyata. “Waktu itu ada seorang laki-laki 40 tahunan yang termenung di depan pagar JH. Saat saya tanya dia mengaku mau mencari hiburan di Dolly, tapi malah teringat anaknya,” kata dia.

JH didirikan oleh Mohammad Umar Abdul Azis, yang merupakan paman Nasikh. Sebelumnya, almarhum Azis mendirikan Masjid Baitul Hidayah dan Sekolah Bahrul Ulum. Sepeninggal sang ayah, putranya, Mochamad Rofi’ Uddin, mengembangkan JH sebagai lembaga dakwah bersama saudaranya yang lain: Mochamad Nu’man, Mochamad Qomaruddin, dan Nasikh sendiri.

Mohammad Umar Abdul Azis dan ayah Nasikh, H. Umar Abdul, adalah keluarga asal Kabupaten Gresik yang mewarnai kawasan lokalisasi itu dengan syiar Islam melalui pendidikan sejak 1960-an. Sebagai bentuk syiar untuk mengajak pada kebaikan, JH beberapa kali menginisiasi pawai Ramadan, tablig akbar, serta pengajian besar di sana. Namun bukan hal yang mudah untuk bisa mendirikan tempat mengaji di pusat hiburan malam. Santri yang semula ada 100-an anak merosot jadi tinggal 15 santri pada 2011. Nasikh lalu menyadari, caranya terlalu frontal. Pihaknya lalu mengganti strategi dengan intens berkunjung ke rumah para santri dan berdialog dengan orang tuanya. “Lama-lama, orang tuanya percaya kepada kami,” ujar Nasikh.

Kini, JH semakin berkembang dan memiliki sekitar 150 santri, mulai dari anak pendidikan usia dini berusia 3,5 tahun hingga sekolah menengah atas. JH memperkuat sistem pembelajaran agar anak-anak tak bosan. Tak hanya belajar mengaji, santri yang sudah beranjak remaja dilatih untuk membina adik-adiknya. Sistem mentoring ini efektif menjalin kedekatan, sekaligus mengasah jiwa kepemimpinan.

Selain itu, para santri diajak melakukan aktivitas yang menyenangkan di luar membaca Al-Quran. “Kadang-kadang kami ajak nonton film. Atau yang suka sepak bola, diajak nonton Persebaya main di Gelora Bung Tomo,” kata Nasikh.

ARTIKA RACHMI FARMITA