Kolom Ramadan: Dakwah Nabi

TEMPO/ Nita Dian
TEMPO/ Nita Dian

A. Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Islam yang datang ke bumi Nusantara adalah Islam yang ramah dan merangkul budaya. Islam yang kompromistis dengan jalan merangkul kebudayaan dan kearifan lokal yang sebelumnya sudah mapan sebagai sebuah tradisi, bahkan peradaban. Inilah nilai lebih yang dimiliki para penyebar Islam di bumi Nusantara. Mereka memiliki kecerdasan akal sekaligus kecerdasan dakwah. Kecerdasan dakwah yang diwarisi dari Nabi Muhammad SAW dalam khazanah kitab klasik disebut dengan fiqhud dakwah.

Fiqhud dakwah adalah serangkaian ilmu yang dijadikan peranti untuk mengambil keputusan dan langkah dalam berdakwah. Dengan pemahaman fiqhud dakwah yang mumpuni, seorang dai diandaikan akan memahami peta, corak, dan karakter masyarakat yang akan didakwahi.

Buah dari penguasaan fiqhud dakwah adalah produk dakwah yang menampakkan wajah Islam rahmatan lil ãlamin. Islam yang menebarkan kasih sayang terhadap seru sekalian alam, bukan hanya kepada sesama manusia. Contoh klasiknya, dalam diktum kitab-kitab fikih disebutkan bahwa makruh hukumnya buang air kecil di lubang-lubang yang terdapat di tanah karena mungkin lobang tersebut merupakan sarang binatang. Contoh sederhana itu merupakan bukti bahwa Islam sangat peduli kepada semua makhluk.

Sayangnya tidak semua pendakwah memahami fiqhud dakwah dengan baik. Mereka cenderung tidak menghayati gradasi atau tingkatan dakwah sebagaimana tertera dalam surat An-Nahl: 125. Ud’u ila sabli rabbika bil hikmah wal mauidzatil hasanah wajãdilhum billati hia ahsan. Ada tiga tingkatan dalam berdakwah. Pertama adalah dengan hikmah atau kebijaksanaan. Hikmah ini dimensinya sangat luas. Allah berfirman: Yu’til hikmah man yasya’, wa man yutal hikmah faqad tiya khairan katsr. Hikmah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki (oleh Allah), barangsiapa yang mendapatkan hikmah itu maka akan diberikan kebaikan yang lebih banyak. Hikmah sifatnya universal, dan untuk itu dijadikan gradasi pertama dalam berdakwah.

Kedua, bilmauidzatil hasanah, yakni dengan menggunakan nasihat yang bagus dan harus disampaikan dengan cara-cara yang baik. Dimensi ini mencakup dua hal, yakni materi dakwah serta teknik atau strategi dalam menyampaikan dakwah.

Ketiga, ini tingkat yang paling akhir yang diambil jika gradasi pertama dan kedua tidak berhasil, yakni mendebat orang yang didakwahi. Ini pun dengan catatan harus dilakukan dengan cara-cara yang baik.

Diceritakan suatu ketika ada seorang lelaki datang ke kediaman Kiai Bisri Syansuri di Denanyar, Jombang. Lelaki itu mengutarakan niatnya untuk berkurban, namun ia hanya memiliki satu ekor sapi, sementara jumlah keluarganya ada delapan orang, termasuk di dalamnya seorang berusia tujuh tahun. Kiai Bisri yang terkenal lugas berfikih menjawab dengan tegas bahwa jatah kurban menggunakan seekor sapi hanya untuk tujuh orang.

Selanjutnya, dengan bersusah hati lelaki itu pergi ke kediaman Kiai Wahab Hasbullah di Tambak Beras, Jombang. Ia utarakan persis persoalannya. Mendapati hal itu, Kiai Wahab memberikan jawaban yang menggembirakan. “Kamu dan keluargamu tetap boleh berkurban. Tapi, karena kamu punya anak kecil, biar dia kelak di surga bisa bergabung dan naik sapi bersama keluargamu yang lain, maka sediakan satu ekor kambing biar dipakai tangga pijakan kelak di surga.”

Kisah di atas adalah gambaran bahwa fiqhud dakwah itu sangatlah penting. Ajaran yang baik harus disampaikan dengan cara-cara yang baik pula.

***

Catatan:
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Kamis, 15 Juni 2017.