Kolom Ramadan: Al-Quran, Bukan Kitab Teror

Seorang pengunjung melihat Al Quran yang dipamerkan di Masjid Istiqlal, Jakarta, 25 Ferbruari 2017. Pameran ini diselenggarakan guna memeriahkan milad Istiqlal. TEMPO/Fajar Januarta
Seorang pengunjung melihat Al Quran yang dipamerkan di Masjid Istiqlal, Jakarta, 25 Ferbruari 2017. Pameran ini diselenggarakan guna memeriahkan milad Istiqlal. TEMPO/Fajar Januarta

M. Alfan Alfian  
Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah

Tak terasa, jalannya Ramadan sudah menginjak malam Nuzulul Quran. Al-Quran, kitab suci umat Islam, turun pada bulan Ramadan. Karena itulah, antara lain, Ramadan menjadi begitu istimewa. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, rahmat semesta alam, merupakan pesan sangat penting Al-Quran.

Bagi umat Islam, Al-Quran itu petunjuk, panduan hidup. Mengenai hal ini, saya ingat ceramah umum bagi para mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Malang pada awal dekade 1990-an yang disampaikan dosen agama Islam, Suyoto, yang sekarang Bupati Bojonegoro, bahwa, “Al-Quran itu untuk orang hidup, bukan untuk yang sudah mati!”

Maksudnya, Al-Quran adalah petunjuk hidup. Dia lantas memberikan ilustrasi-ilustrasi yang intinya mengarah pada pesan penting, bahwa Al-Quran harus dipahami dan diamalkan oleh umat Islam dalam hidup di dunia. Al-Quran merupakan kitab yang penuh pesan atau nilai moral yang tidak hanya berimplikasi pada internal umat Islam, melainkan seluruh umat manusia.

Al-Quran sarat dengan pesan kemanusiaan dan perdamaian. Di dalamnya tak hanya terkandung pemahaman terhadap realitas pluralisme umat manusia (QS 49:53), tapi juga pesan-pesan kemanusiaan yang paripurna. Al-Quran pun mengajarkan penghargaan dan perawatan kehidupan. Hal itu ditegaskan, “Barangsiapa menyelamatkan satu jiwa (nyawa satu orang), maka ia seolah telah menyelamatkan jiwa (nyawa) semua orang” (QS. 5:32).

Ayat tersebut pernah disitir KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketika masih menjabat presiden, untuk merespons realitas konflik yang keras di sejumlah daerah di Indonesia. Ayat yang mengajarkan agar kita menghargai, bahkan senantiasa berikhtiar menyelamatkan nyawa orang lain tersebut, tentulah bertentangan dengan aksi-aksi kekerasan dan teror yang menyebabkan hilangnya nyawa banyak orang.

Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak umat manusia. Seyogianya, dimensi akhlaklah yang harus kita utamakan. Tidak ada orang baik kecuali kemanfaatannya (rahmat) bagi yang lain, tidak hanya manusia, tapi juga makhluk Allah lainnya.

Bahkan, sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadis Nabi, seseorang yang berupaya mencarikan air bagi seekor anjing yang nyaris mati kehausan memperoleh pahala yang tiada terkira.

Memelihara kehidupan, menebarkan salam, kedamaian, merupakan sesuatu yang otomatis, mengingat salam selalu diucapkan sebagai penutup salat. Pribadi muslim yang baik tentu memahami bahwa dirinya senantiasa mengemban misi kedamaian, bukan kerusakan. Dalam konteks inilah harus selalu dikedepankan obyektivikasi terkait dengan ragam fenomena yang bertentangan dengan ajaran Al-Quran. Misalnya, dewasa ini sering mengemuka penilaian tergesa-gesa dan tidak obyektif atas tindakan terorisme yang seolah-olah berpangkal pada ajaran Al-Quran. Terutama setelah peristiwa 9 Oktober 2001, banyak orang penasaran terhadap Al-Quran, sehingga membuat kitab ini dicari-cari. Banyak yang menduga Al-Quran adalah kitab teror. Tapi dugaan mereka keliru.

Al-Quran tidak mengajarkan teror, melainkan justru sebaliknya, menghargai kehidupan dan kedamaian, rahmat semesta alam. Yang melakukan teror itu adalah orang-orang yang membajak agama untuk kepentingan politik.

***

Catatan:
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Rabu, 14 Juni 2017.