Kolom Ramadan: Cinta Kepada yang di Bumi

Seorang umat muslim membaca Al Quran di Masjid Istiqlal, Jakarta, 3 Juni 2017. Pada bulan Ramadan 1438 H umat muslim banyak membaca Alquran (tadarus), berdoa dan dzikir di masjid. TEMPO/Fajar Januarta
Seorang umat muslim membaca Al Quran di Masjid Istiqlal, Jakarta, 3 Juni 2017. Pada bulan Ramadan 1438 H umat muslim banyak membaca Alquran (tadarus), berdoa dan dzikir di masjid. TEMPO/Fajar Januarta

A. Suryana Sudrajat
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ihsan, Anyer, Banten

Mula-mula Islam berisikan sistem kepercayaan, seperti tentang eksistensi Tuhan dan kehidupan setelah mati, pahala dan dosa atas segala perbuatan di dunia, yang pengejawantahannya dalam bentuk-bentuk ibadah. Semua itu berkenaan dengan aspek hubungan manusia dengan Tuhan alias hablum minallah. Yang kedua adalah sistem moralitas dan etika yang menyangkut aspek hubungan antar-manusia, yang manifestasinya mewujud terutama dalam institusi-institusi sosial dan hukum.

Hubungan vertikal manusia dengan Tuhan sejatinya memberi dimensi spiritualitas kepada kehidupan manusia. Sebab, bentuk-bentuk peribadatan hanya merupakan aspek fisikal dari hubungan tersebut. Kontak batin dengan Tuhan yang dihayati dalam pengalaman religius itu merupakan roh yang menjadikan agama bukan sekadar seperangkat kepercayaan dan seremoni ritual. Jika aspek kedalaman atau spiritualitas itu absen, agama ibarat badan tanpa nyawa karena sudah kehilangan rohnya. Karena itulah, hubungan langsung antara manusia dan Tuhan sering pula disebut napas dan nyawa agama.

Nah, segala hal-ihwal yang berkenaan dengan  pengalaman keagamaan atau sering juga disebut pengalaman mistik itu dalam tradisi Islam disebut tasawuf. Esensi sufisme adalah mahabah atau cinta kepada Illahi. Ajaran tasawuf yang amat  menekankan pada kesalehan individual kerap melahirkan sikap asyik dalam kesendirian untuk menumpahkan kerinduan kepada Al-Khalik sebagai Sang Kekasih. Hal itu bisa kita baca dalam ungkapan-ungkapan personal yang sangat indah dari mistikus besar Rabi’ah Al-Adawiah.

Sejatinya, sikap yang cenderung soliter itu tidak harus terjadi jika cinta kepada Illahi juga dimanifestasikan dalam cinta terhadap ciptaan-Nya, yaitu manusia dan jagat raya ini. Bukankah kehidupan dan alam semesta ini merupakan anugerah yang Dia berikan karena dan dalam cinta? Jika kita memahami dan menghayati sufisme seperti ini, akan lahir élan dan vitalisme, sehingga kesalehan menjelma menjadi kemuslihan, pembawa maslahat.

Jika kehidupan bersumber dari Yang Maha Hidup, sudah seharusnyalah upaya meningkatkan kualitas kehidupan sesama makhluk hidup menjadi bukti kecintaan kepada-Nya. Jika alam semesta merupakan anugerah Sang Maha Wujud, usaha mememelihara dan melestarikannya adalah bukti kecintaan kepada-Nya. Jika hidup dan alam yang berasal dari Sang Maha Pemberi dianugerahkan untuk semuanya, usaha menghilangkan pikiran dan sikap sempit, sekat-sekat yang memisahkan manusia dengan manusia lainnya, adalah bukti kecintaan kepada-Nya. Alhasil, seluruh upaya untuk mengembangkan kehidupan di dunia ini mempunyai dimensi spiritualitas sebagai perwujudan cinta kepada Illahi.

Semangat cinta itu harus terus dikobarkan. Terlebih sekarang, ketika dunia terus dilanda konflik, ketika kelestarian alam terancam oleh kerakusan manusia. Basmalah yang setiap saat kita baca itu, yang di dalamnya menonjolkan sifat kasih sayang Tuhan, seharusnya ditangkap sebagai isyarat agar aktualisasi hubungan antar-manusia dan  alam lingkungannya dilandasi dan diwarnai semangat cinta. Nabi bersabda, “Cintailah siapa pun yang berada di bumi, maka kalian akan dicintai oleh yang berada di langit.”

Dengan semangat cinta itu pula, ketegangan hidup yang ditandai kebencian, kegersangan hidup yang diakibatkan sikap materialistik dan hedonistik, serta kesuraman hidup yang dibayang-bayangi polusi, perubahan iklim, dan kelangkaan sumber-sumber alam dapat dikikis.

***

Catatan:
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Senin, 12 Juni 2017.