Topik Ramadan: Saatnya Kiai Pesantren Manfaatkan Medsos

Sejumlah santri mengamati perangkat komputer yang digelar di Sidogiri Fair 2012  di Pondok Pesantren Sidogiri, Kraton, Pasuruian, Jawa Timur, Minggu (1/7). ANTARA/Musyawir
Sejumlah santri mengamati perangkat komputer yang digelar di Sidogiri Fair 2012 di Pondok Pesantren Sidogiri, Kraton, Pasuruian, Jawa Timur, Minggu (1/7). ANTARA/Musyawir

TEMPO.CO, Jakarta - Berdakwah dengan memanfaatkan media sosial dan teknologi yang ada, menurut direktur situs web resmi milik Nahdlatul Ulama, NU Online, Savic Alielha, memang tak bisa dihindari lagi. Aktivis reformasi ini cukup giat di bidang literasi. Belakangan, ia sedang giat mendorong para kiai di pesantren untuk memanfaatkan teknologi dan media sosial.

Menurut dia, kiai-kiai di daerah punya pengikut yang loyal. Para santri sudah pasti mengikuti apa yang disampaikan kiai mereka. Dan sudah seharusnya para kiai ini memperluas penyebaran ilmunya kepada masyarakat awam agar manfaatnya lebih melebar. “Mereka berfokus menjaga santri-santrinya, tapi kurang punya kesadaran membuat dakwah untuk bisa menjangkau publik di luar pesantren,” tutur Savic.

Sayangnya, menurut Savic, media sosial belakangan ini pun lebih cepat dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak yang cenderung punya pandangan konservatif, bahkan ekstrem. Padahal mayoritas muslim di Indonesia merupakan muslim moderat yang seharusnya bisa dirangkul para kiai pesantren apabila menguasai teknologi dan mau bermedia sosial.

Muslim moderat masih menjadi minoritas di dunia dalam jaringan. Suara mereka masih kalah dibanding kelompok garis keras yang cenderung menyuarakan Islam dengan cara mereka. Mengelola situs NU Online saja, kata dia, masih kurang kuat untuk menghalau informasi atau kajian Islam yang kerap disuarakan oleh gerakan garis keras. Ia dengan tim yang kecil kini masih berusaha bisa menyajikan konten yang bisa menarik masyarakat untuk mengimbangi konten-konten yang cenderung ekstrem, seperti mengharapkan pergantian falsafah negara.

Saat ini kesadaran muslim untuk mempelajari agamanya lebih dalam sedang bergeliat. Sayang jika minat mereka ditarik untuk memahami Islam secara kurang tepat. “Para kiai pesantren ini pembaca kitab, bukan orang yang baru punya satu atau dua ayat untuk berdalil,” ujar Savic.

Menguasai media sosial pun, menurut dia, perlu ilmu baru lagi. Menyampaikan ilmu agama dalam forum resmi di pengajian tentu berbeda dengan saat menyampaikannya di media sosial. Pertama, tak ada interaksi langsung antara penyaji ilmu dan yang menerima, sehingga harus bisa menghindari adanya kesalahpahaman saat menyampaikan maksud tertentu, sekalipun disajikan dalam bentuk video di akun YouTube.

Dari sisi bahasa pun penyampaian materi agama harus bisa menyesuaikan siapa target yang ingin disasar. Penjelasan materi juga harus bisa lebih fokus dan tak melebar ke mana-mana.
Penyajian konten yang bervariasi dengan dilengkapi gambar pun menjadi tantangan lain. Masyarakat, terutama kaum muda, tak bisa hanya menerima informasi melalui tulisan. Info harus disertai keterangan visual yang bisa menarik dan menggugah.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menuturkan, geliat para pengemban dakwah di media sosial menunjukkan ada kesadaran untuk memanfaatkan teknologi guna menyebarkan ajaran agama.
Dia berpendapat, sebaiknya teknologi dan media sosial benar-benar dimanfaatkan dengan mengutamakan dakwah yang berisi esensi nilai-nilai pokok agama, yakni ajakan untuk saling menjaga harkat dan martabat kemanusiaan.

”Kita harus bersama mencegah medsos digunakan sebagai sarana untuk saling mencela, menghina, memfitnah, serta merendahkan dan meniadakan di antara kita sesama saudara sebangsa,” Lukman menuturkan.  ***

AISHA SHAIDRA