Ada Masjid, Vihara, dan Gereja di Gang Ruhana

Editor

Elik Susanto

Warga memasuki masjid Al amanah yang bersebelahan dengan vihara Giri Metta di Gang Ruhana, Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong, Bandung, Jawa Barat, 5 Juni 2017. Kawasan permukiman ini memiliki Masjid serta Vihara dan gereja berdekatan yang sudah ada sejak zaman Belanda. TEMPO/Prima Mulia
Warga memasuki masjid Al amanah yang bersebelahan dengan vihara Giri Metta di Gang Ruhana, Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong, Bandung, Jawa Barat, 5 Juni 2017. Kawasan permukiman ini memiliki Masjid serta Vihara dan gereja berdekatan yang sudah ada sejak zaman Belanda. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Bandung - Masjid, vihara, dan gereja itu berada di satu gang. Berdiri kukuh bersebelahan, setiap saat penganutnya menjalankan ritual masing-masing di Gang Ruhana RT 01 RW 02, Kelurahan Paledang, Kota Bandung, itu.

Dari mulut Gang Ruhana, terdapat Masjid Al Amanah yang dibangun pada 2014. Jemaahnya selalu ramai, terutama saat Ramadan sekarang ini. Saban sore, mereka datang ke masjid untuk iktikaf atau membaca Al-Quran sambil menunggu waktu berbuka.

Hampir menempel pada sisi masjid itu, berdiri Vihara Giri Metta—dari bahasa Sanskerta, artinya “Gunung Kasih Sayang”. Vihara tua tersebut berdiri sejak 1946. Kemudian, di sebelah kanan gang, menghadap Jalan Lengkong, terdapat Gereja Pantekosta yang didirikan pada 1970.

Warga setempat, yang mayoritas berlatar Suku Sunda dan keturunan Tionghoa, mengaku sudah terbiasa dengan suasana beragam. Pada hari tertentu jemaah masjid berdatangan dalam jumlah besar. Pada hari lain giliran penganut Taoisme dan maupun Kristen datang untuk beribadah. “Kalau hari minggu, ada bersih-bersih lingkungan, termasuk tempat ibadah,” kata A Hoy, warga RT 01.


Wong Tje Ping, 64 tahun, pengelola Vihara Giri Metta, mengatakan vihara yang didirikan kakeknya itu awalnya adalah milik pribadi. Namun lama-kelamaan vihara dibuka untuk umum. “Klenteng jadi vihara sejak kebijakan Orde Baru. Intinya, tempat ini untuk ibadah Tao,” kata Tje Ping. Lebih unik lagi, bangunan vihara seluas 200 meter persegi itu adalah milik seorang muslim yang disewakan kepada kakek Tje Ping.

Setiap kali hari besar keagamaan, warga setempat ikut bergembira. Saat Imlek, misalnya, warga yang berbeda agama dengan senang hati mempersilakan pengelola vihara memasang lampion di sepanjang gang.

Saling menghormati juga tampak saat Ramadan seperti sekarang. Pengelola masjid dan gereja berkoordinasi agar nyanyian gereja dan kumandang suara azan tidak berbenturan. “Kami ikut menyumbangkan air kemasan ke masjid untuk berbuka puasa,” kata Tje Ping. Saat salat Idul Fitri, pengelola gereja meminjamkan karpet untuk digelar di halaman masjid yang jemaahnya membeludak.

Kampung kecil di Gang Ruhana itu menunjukkan wajah sesungguhnya Indonesia. Penduduknya hidup rukun meski berbeda keyakinan, etnis, dan latar belakang ekonomi. "Kami saling mengenal dan mau hidup akur,” kata Tje Ping sambil menambahkan kata-kata bijak: “kebaikan kepada siapa pun akan berbuah manis”.

ANWAR SISWADI