Dialog Santri Tebuireng dengan Mahasiswa AS Soal Pluralisme

Editor

Elik Susanto

Kunjungan mahasiswa The King College ke Pesantren Tebu Ireng. Bangsaonline.com
Kunjungan mahasiswa The King College ke Pesantren Tebu Ireng. Bangsaonline.com

TEMPO.CO, Jombang - Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, kerap menjadi tujuan mahasiswa asing untuk mempelajari nilai-nilai pluralisme dan toleransi. Awal Ramadan lalu, misalnya. Sebanyak 11 mahasiswa Miami Dade College, Amerika Serikat, berkunjung ke pesantren yang didirikan Kyai Hasyim Asy’arie tersebut.

Kedatanganya difasilitasi International Office Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Di Tebuireng, mereka berdialog dengan sejumlah pengurus pesantren dan santri. “Apakah Anda terbuka kepada orang yang berbeda agama?” seorang mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Enrique Sepulvedas, bertanya dalam bahasa Inggris.

Baca: Pesan Tebuireng: NKRI dan Islam Tak Perlu Dipertentangkan  

Pertanyaan Enrique dijawab Direktur Bidang Pembinaan Pesantren Tebuireng Lukman Hakim. Dijelaskannya pesantren sangat terbuka dengan siapa saja untuk bekerja sama, tanpa memandang perbedaan agama dan etnis. “Dalam kegiatan-kegiatan tertentu kami sering bekerja sama dengan lintas etnis dan agama,” kata Lukman.

Keterbukaan Tebuireng terhadap penganut agama lain tak sebatas berkegiatan bersama. Pesantren juga mengakomodasi tenaga kerja nonmuslim dalam lembaga pendidikan di lingkungan Tebuireng. “Ada salah satu pejabat di Unit Penjamin Mutu Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) yang beragama Hindu,” kata Pembantu Rektor II, Unhasy Muhsin Kasmin. Selain itu, juga ada dosen di Fakultas Teknologi Informatika Unhasy yang memeluk Katolik.

Baca: Cerita Munculnya Imam Mahdi dari Gowa, bukan Arab

Hal lain yang membuat para mahasiswa ini penasaran adalah hubungan antara konsep syariat Islam dan konsep kenegaraan di Indonesia. “Apa pendapat Anda tentang penegakan syariat Islam di Indonesia?” tanya mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Joshua Elias.

Mantan Direktur Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng, Mohammad As’ad, menjawab bahwa keluarga besar Tebuireng punya kontribusi besar dalam merumuskan dasar negara tanpa menghilangkan nilai-nilai Islam di dalamnya.

“Mantan Menteri Agama RI pertama, KH Abdul Wachid Hasyim, putra dari pendiri pesantren ini, adalah salah satu perumus Pancasila.” Sila-sila dalam Pancasila, menurutnya, juga mencerminkan nilai-nilai Islam.

Baca: Pakai Sarung, Mahasiswa AS Belajar di Pesantren Tebuireng

Setelah berdialog dengan pengurus pesantren, para mahasiswa menuju kompleks makam keluarga Pesantren Tebuireng. Di tempat ini terdapat makam Kyai Hasyim Asy’arie yang juga pendiri Nahdlatul Ulama, Kyai Abdul Wahid Hasyim, hingga makam Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Para mahasiswa itu tertarik oleh keberadaan kotak amal di jalan masuk menuju makam. “Kotak amal tersebut dikelola oleh Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng untuk pelayanan sosial, kesehatan, dan ekonomi bagi duafa di sekitar pesantren Tebuireng,” As’ad memaparkan.

Mendengar penjelasan tersebut, dosen senior yang mendampingi para mahasiswa Miami Dade College, Michael Lenaghan, spontan mengeluarkan dompetnya dan menanyakan lokasi kotak amal. Profesor yang mengaku pernah tiga kali bertemu Gus Dur ini pun bergegas menuju kotak amal dan memasukkan selembar uang dolar Amerika.

Melihat dosen mereka bersedekah, dua mahasiswa, Joshua Elias dan Enrique Sepulvedas, ikut memasukkan uang ke dalam kotak amal. Selain bersedekah secara pribadi, para mahasiswa Miami Dade College mengumpulkan sumbangan yang diberikan ke Lembaga Sosial Pesantren Tebuireng.

Catatan:
Artikel ini diambil dari liputan pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Senin, 5 Juni 2017.