Kolom Ramadan: Gerakan Literasi Damai Berbasis Pesantren

Sejumlah santri mengaji Kitab Kuning di komplek Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, 30 Mei 2017. ANTARA/Zabur Karuru
Sejumlah santri mengaji Kitab Kuning di komplek Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, 30 Mei 2017. ANTARA/Zabur Karuru

Achmad Ubaidillah
Direktur Pusat Studi Pesantren

Pada 2016, Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Ma’ruf Amin menyerukan gerakan literasi pesantren sebagai upaya mengimbangi radikalisme yang marak di berbagai media. Cicit Syekh Nawawi al-Bantani ini mengingatkan para kiai dan santri agar memanfaatkan teknologi media sosial dan kebebasan pers sebagai momentum untuk mendakwahkan Islam ramah dan tradisi keberagamaan rahmatan lil alamin. Menurut dia, pesantren saat ini harus mengkader santri-santrinya agar melek media dan memanfaatkannya sebagai wahana berdakwah, mengajarkan kajian-kajian khas pesantren.

Seruan Rais Am PBNU itu sangatlah relevan di tengah situasi global, regional, dan nasional akhir-akhir ini yang semakin marak diwarnai beragam aksi radikalisme yang mengatasnamakan Islam. Selain mencoreng citra Islam sebagai agama cinta damai dan welas asih, aksi-aksi semacam itu telah mengancam keamanan serta mengganggu relasi sosial-keagamaan di Indonesia.

Gerakan literasi damai berbasis pesantren bisa menjadi salah satu alternatif aksi yang tepat dan strategis dalam upaya mengimbangi radikalisme atas nama agama karena empat hal: Pertama, pesantren telah membuktikan bahwa keragaman daerah, suku, bahasa, dan budaya para santri bukan halangan dalam mewujudkan sikap saling menghormati. Kedua, corak dan watak pesantren yang moderat telah turut memberi sumbangsih besar dalam membentuk wajah Islam di Indonesia sebagai Islam yang ramah sebagaimana sejatinya Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad Sang Penebar Damai.

Ketiga, pola rujukan yang bersumber dari teks-teks keagamaan seperti Al-Quran dan hadis menjadi pijakan utama dalam pembelajaran di pesantren selain tambahan materi pelajaran pendukung seperti nahu, sorrof, balaghoh, tauhid, tasawuf, dan bahasa Arab. Semuanya bertujuan mengukuhkan akidah para santri sebagai muslim, juga membantu mereka dalam memahami khazanah Islam klasik dan kitab kuning (kutub at-turats) serta menguatkan kapasitas intelektual mereka. Dengan begitu, mereka bisa menjadi pribadi yang terbuka terhadap perbedaan. Dengan bekal ilmu yang dimiliki, para santri mampu membentengi diri dari tindakan intoleran dan tidak terjerumus ke dalam kelompok-kelompok radikal.

Keempat, tradisi literasi telah lama berakar dan berkembang di dunia pesantren. Pesantren dikenal sebagai ahli waris autentik khazanah keilmuan di era keemasan Islam sekaligus penerus tradisi berpikir ulama yang menghasilkan berjilid-jilid kitab tafsir, hadis, fikih, kalam, hingga filsafat, dan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Khazanah intelektual Islam peninggalan abad keemasan Islam yang diakrabi pesantren merupakan modal intelektual yang sangat berharga, sehingga bisa menempatkan santri sebagai ahli waris kebangkitan intelektual Islam masa kini dan masa depan yang mumpuni. Kebangkitan intelektual ini bisa dicapai dengan melanjutkan tradisi literasi para ulama terdahulu sebagai jihad intelektual dalam memberikan pencerahan dan menebar rahmat untuk semesta.

Gerakan literasi damai berbasis pesantren penting untuk mengimbangi radikalisme sekaligus memberikan pendidikan dan pencerahan kepada umat mengenai pentingnya menyemai perdamaian. Hingga terciptalah kehidupan damai tanpa kekerasan dan kebencian.

***

Catatan:
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Rabu, 7 Juni 2017.