Kolom Ramadan: Akhlak kepada Pemeluk Agama Lain

TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo

Hairus Salim H.S.
Direktur Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) Yogyakarta

Suatu pagi Saidina Ali bergegas ke masjid untuk salat subuh. Ketika sudah hampir dekat masjid, di depannya berjalan seorang kakek tua. Pelan sekali. Ali mengikutinya di belakang dan tidak mendahuluinya. Ketika tiba di depan masjid, kakek itu jalan lurus saja. Sadarlah Ali bahwa si kakek seorang Kristen.

Sementara itu, Nabi yang sedang memimpin salat tiba pada prosesi rukuk. Rukuk itu lebih panjang dari biasanya, sehingga Ali yang sempat tertunda jalannya masih sempat mengikuti salat jemaah subuh tersebut.

Usai salat, sahabat bertanya, “Mengapa rukuk Anda tadi lebih panjang dari biasanya?” Nabi menjawab, “Ketika rukuk tadi, Jibril datang dan merentangkan sayapnya di punggungku sehingga aku tidak bisa berdiri. Baru setelah ia pergi, aku bisa berdiri kembali. “Mengapa demikian?” tanya sahabat. “Aku tidak tahu,” jawab Nabi, “dan tidak bisa bertanya kepada Jibril.”

Jibril datang menjelaskan, “Wahai Muhammad, tadi Ali tergesa untuk mengejar salat jemaah, namun langkahnya terhalang seorang tua Kristen yang tak diketahuinya. Ali menghormatinya sebagai orang tua, tidak mau mendahuluinya dan memberikan haknya untuk berjalan. Aku diperintahkan untuk menahanmu agar Ali sempat mengikuti salat jemaah. Bukan itu saja, Allah juga memerintahkan malaikat Mikail untuk menahan laju matahari, agar waktu subuh lebih panjang. Itu semua dilakukan demi Ali.”

Nabi menyambung, “Itulah derajat seseorang yang memuliakan orang tua, meski dia seorang Kristen.”

***

Suatu kali Nabi pernah berujar, “Sebenarnya saya diutus untuk memperbaiki akhlak manusia.” Kerusakan akhlak menjadi alasan kenabiannya dan penyempurnaan akhlak dengan demikian merupakan agenda pentingnya.

Para pembelajar mengenal berbagai pembagian akhlak, yang sering diterjemahkan secara longgar sebagai etika, budi pekerti, atau adab, meski tekanan maknanya mungkin berbeda satu sama lain. Ada akhlak kepada Allah, kepada orang tua, kepada tetangga, kepada “orang lain”. Di bawah rubrik akhlak kepada orang lain inilah, kadang dibahas secara khusus akhlak kepada pemeluk agama lain. Atau ia terkadang muncul dalam cerita hikmah.

Cerita di atas berasal dari Al-Mawa’iz al-‘Usfuriyah, sebuah kitab hadits tipis yang kaya dengan amsal sejarah, cerita sufi dan ajaran etika karya Syaikh Muhammad bin Abi Bakar yang populer di kalangan pesantren. Cerita atau dalam kitab disebut “hikayat” di atas mengandung dua pesan moral: pemuliaan kepada orang tua dan penghormatan kepada pemeluk agama lain. Bahwa tokoh tua itu seorang Kristen tak lain untuk menunjukkan bahwa penghormatan kepada orang tua itu tanpa kecuali dan tak peduli apa pun agamanya. Sekaligus dengan itu bahwa orang yang beragama lain pun berhak untuk dihormati.

Cerita-cerita seperti ini berlimpah ruah dan menjadi bagian dari khazanah keagamaan yang kaya. Cerita ini adalah pantulan ajaran ilahiah dan pengalaman interaksi Islam dengan umat lain sejak awal kelahirannya. Cerita-cerita seperti ini menunjukkan betapa mulia ajaran dan praktik berislam tersebut.

KH M.A. Fuad Hasyim (almarhum) dalam Butir-butir Hikmah Sufi (2004) mengemukakan cerita di bawah ini. Imam Abdullah bin al-Mubarak bertetangga dengan seorang Yahudi. Suatu hari tetangga Yahudi itu sangat membutuhkan uang, karena itu ia bermaksud menjual rumahnya. Ketika ditanya dengan harga berapa rumahnya itu mau dijual.

“Dua ribu dinar,” jawabnya.

“Harga pasar rumah Anda ini tak lebih dari seribu dinar,” kata seseorang.

“Ya, benar, tetapi maksudku seribu dinar itu untuk harga rumah dan seribu dinar lagi untuk harga bertetangga dengan Imam Abdullah bin al-Mubarak.”

Ketika Imam Abdullah bin al-Mubarak diberi tahu, ia segera mendatangi tetangga Yahudi-nya itu. Ia memberikan uang seharga rumah itu kepada sang tetangga, dan berkata, “Janganlah kamu jual rumahmu!”

Demikian, sebagian dari contoh akhlak bagaimana memuliakan dan menghormati orang berbeda agama dalam tradisi Islam. Jika kita menyimak sejarah Islam, akhlak lebih dikedepankan daripada fikih. Akhlak menjadi pelajaran dasar dan awal yang diperkenalkan kepada anak. Sedemikian rupa ada yang bilang “agama itu ya akhlak”. Kalau tak berakhlak berarti tidak beragama. Menghormati pemeluk agama lain merupakan “bagian” penting dari akhlakul karimah. Wallahul ‘alam bisshawab.

***

Catatan:
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Senin, 5 Juni 2017.