Tradisi Berburu Daging Warisan Sultan Aceh

Editor

Elik Susanto

Warga memadati pasar meugang tradisional untuk membeli daging sapi yang dijual pedagang Rp170 ribu per kilogram pada perayaan meugang besar Ramadan di Lhokseumawe, Aceh, 26 Mei 2017. Tradisi perayaan meugang dirayakan tiga kali dalam setahun yakni menjelang Ramadan, Idulfitri dan Idul Adha. ANTARA/Rahmad
Warga memadati pasar meugang tradisional untuk membeli daging sapi yang dijual pedagang Rp170 ribu per kilogram pada perayaan meugang besar Ramadan di Lhokseumawe, Aceh, 26 Mei 2017. Tradisi perayaan meugang dirayakan tiga kali dalam setahun yakni menjelang Ramadan, Idulfitri dan Idul Adha. ANTARA/Rahmad

TEMPO.CO, Banda Aceh - Pasar Ulee Kareng, Banda Aceh, ramai sejak subuh. Keriuhan pada Jumat, 18 Mei 2017, disebabkan oleh kemunculan lapak-lapak daging yang digelar di hadapan area pertokoan di sepanjang jalan. Arus lalu lintas pun turut macet sejak matahari terbit akibat banyaknya warga yang memburu daging.

Tak terkecuali Nurdin, seorang warga Ulee Kareng yang mencari daging di sana menjelang Ramadan. “Harga daging memang mahal, tapi kami harus membelinya. Ini untuk merayakan tradisi,” ujarnya kepada Tempo.

Tradisi yang dia maksudkan adalah meugang. Dalam tradisi ini, warga Aceh memasak daging untuk menikmatinya bersama keluarga. Dulu meugang biasa dilakukan dengan cara menyembelih kambing atau sapi. Tradisi ini dilakukan setahun tiga kali, yakni menjelang Ramadan, saat Idul Fitri, dan Idul Adha.

Kini tradisi menyembelih kambing atau sapi itu digantikan dengan cara yang lebih praktis, yakni membeli daging mentah. Kondisi inilah yang membuat harga daging melonjak tinggi setiap Ramadan. Seperti yang dikatakan Nurdin, yang harus menebus satu kilogram daging dengan uang Rp 150 ribu pada akhir pekan lalu. Padahal pada hari biasa harga daging Rp 100-120 ribu.

Dalam merayakan tradisi meugang, warga Aceh tak mau membeli daging beku yang dijual di supermarket, meski harganya lebih murah, yakni Rp 80 ribu per kilogram. Warga lebih memilih daging sapi lokal, walau mahal. Soal harga, Gubernur Aceh Zaini Abdullah sebelumnya telah mengeluarkan imbauan agar penjual menghargai daging paling tinggi Rp 130 ribu per kilogram. Tapi penjual tak menggubris imbauan itu.

Salah satu penjual daging, Jamal, mengakui daging yang dijajakannya memang dihargai mahal. Alasannya, sapi lokal Aceh yang dibelinya juga harus ditebus mahal dari peternak. “Setiap meugang memang seperti itu, dan semua warga juga membelinya,” kata dia.

Setelah membeli daging, Nurdin membawa pulang lengkap dengan bumbu-bumbu. Di rumah, istrinya mengolah daging dengan masakan khas Aceh, dari masak kuah merah, rendang Aceh, sie rebuh, sampai masak putih. Masakan ini akan mereka nikmati sampai beberapa hari saat Ramadan.

Sesuai dengan tradisi, orang kaya biasanya membeli daging dalam jumlah banyak, kemudian membagikan kepada anak yatim atau tetangganya yang miskin. Bagi pria yang baru menikah, akan menjadi aib kalau meugang tak membawa pulang daging ke rumah mertuanya.

Ketua Majelis Adat Aceh, Badruzzaman, mengatakan, sesuai dengan riwayat, tradisi meugang pertama sekali diperingati pada masa Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Iskandar Muda pada 1607-1636 Masehi. Meugang bahkan diatur dalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi atau Undang-Undang Kerajaan.

Kerajaan, ujar Badruzzaman, memerintahkan kepala desa untuk mendata warga miskin. Daging kemudian dibagikan kepada mereka secara gratis sebagai wujud kemakmuran kerajaan dan perhatian dari pemimpin kepada warga. “Meugang memiliki makna, selain untuk menguatkan silaturahmi, wujud kegembiraan menyambut bulan suci,” ujarnya. Tradisi meugang terus dirayakan sampai kini. Warga merawatnya untuk menjaga amanah Sultan.

TIM TEMPO