Mendaras Kilat ala Pondok Pesantren Lirboyo

Sejumlah santri mengaji kitab kuning di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, (12/8). Ratusan santri kilat (santri tak menetap) dari berbagai daerah menghabiskan waktu satu bulan selama Ramadhan di Ponpes Lirboyo untuk mengaji Kitab Kuning.  ANTARA/Arief Priyono
Sejumlah santri mengaji kitab kuning di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, (12/8). Ratusan santri kilat (santri tak menetap) dari berbagai daerah menghabiskan waktu satu bulan selama Ramadhan di Ponpes Lirboyo untuk mengaji Kitab Kuning. ANTARA/Arief Priyono

TEMPO.CO, Kediri - Matahari belum terbit sempurna ketika ratusan remaja bersarung memenuhi halaman Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Dengan kitab di tangan, mereka tekun mengikuti pengajian yang dipimpin Kiai Anwar Mansyur. Beralas sajadah, deretan santri ini meluber hingga ke luar pagar kediaman Kiai Anwar dan berjajar di bawah tembok tepi jalan.

Pemandangan serupa juga tampak di serambi masjid yang bersebelahan dengan kediaman Kiai Anwar. Usia mereka beragam, dari belasan hingga puluhan tahun. “Mereka bukan santri reguler di sini,” kata Adi Asmuni, pengurus Pondok Pesantren Lirboyo, kepada Tempo, Selasa, 30 Mei 2017 lalu.

Setiap Ramadan, Pesantren Lirboyo selalu kedatangan ribuan santri dadakan. Santri reguler di pesantren, yang pulang ke rumah untuk puasa bersama keluarga, digantikan oleh sekitar 2.000 santri kilat. Selama 21 hari saat Ramadan, mereka belajar kitab kuning dan mengikuti program mengaji dasar. Jadwal pengajian dan aturan lain tidak ketat seperti santri reguler. “Bebas mau ngapain karena sedang puasa,” kata Adi.

Mohamad Syahris Asad, 14 tahun, adalah salah satu santri kilat asal Desa Slumbung, Kecamatan Ngadiluwih, Kediri. Sementara teman-temannya sedang mengaji, Asad bergolek di serambi masjid. “Saya ikut ngaji siang dan habis tarawih saja,” kata Asad.

Asad ikut program mendaras kilat di Lirboyo atas desakan ibunya. Selama ini, siswa kelas dua SMP itu menghabiskan masa Ramadan dengan bermain petasan di kampung. Namun, Ramadan kali ini, ia bersama enam kawannya dikirim ke Lirboyo untuk merasakan pendidikan santri di pondok pesantren.

Sebagai santri baru, Asad mengaku sempat canggung. Apalagi di tempat ini dia harus berinteraksi dengan banyak orang. Belum lagi, setiap malam ia mesti berebut tempat tidur dalam kamar yang dihuni puluhan anak. Jika tidak kebagian ranjang, ia mesti rela tidur di serambi masjid bersama puluhan santri lain.

Biaya untuk menjadi santri dadakan tidak mahal. Keluarga Asad cukup membayar Rp 35 ribu untuk mendaftarkan Asad sebagai santri kilat. Mereka tinggal di kamar-kamar pondok yang ditinggal mudik oleh santri reguler. Untuk makan sahur dan berbuka, bila malas memasak sendiri, ada kantin yang menjual makanan murah dan sehat seperti oseng-oseng kangkung dan berbagai lauk. Harganya hanya Rp 2.500 hingga Rp 3.000 per porsi.

Meski hanya menyandang status santri dadakan, kegiatan yang harus diikuti santri kilat Lirboyo cukup padat. Mereka diwajibkan mengikuti beberapa program mengaji yang dimulai usai salat subuh hingga tengah malam. Berbagai program kilat tersebut sudah disusun para pengasuh pondok. Para santri dibebaskan untuk memilih program yang diminati. “Asal membeli kitab sesuai dengan tema yang diikuti,” kata Asad.

Selepas tarawih, Asad mengambil kitab kuning miliknya. Selanjutnya, bersama puluhan temannya ia mulai kembali menyimak isi kitab bertulisan huruf Arab sambil mendengarkan suara kiai yang menerjemahkan tulisan itu menjadi bahasa Jawa melalui pengeras suara. Dalam metode mengaji kitab kuning, teknik ini disebut sebagai pemaknaan. Bahasa Jawa dianggap lebih mudah dimaknai karena kosakata yang lebih beragam dibanding bahasa Indonesia. Asad akan menjalani rutinitas itu hingga menjelang Lebaran, dan saat pulang nanti ia akan membawa ilmu baru ke rumah.

HARI TRI WASONO