Cerita Munculnya Imam Mahdi dari Gowa, bukan Arab

Editor

Elik Susanto

Jamaah An-Nadzi khusyuk saat menjalankan salat Idul Fitri di Padepokan kawasan Mawang, Gowa, Sulawesi Selatan, 5 Juli 2016.  Jamaah An-Nadzir mulai berpuasa sejak 6 Juni hingga 4 Juli atau selama 29 hari. TEMPO/Iqbal lubis
Jamaah An-Nadzi khusyuk saat menjalankan salat Idul Fitri di Padepokan kawasan Mawang, Gowa, Sulawesi Selatan, 5 Juli 2016. Jamaah An-Nadzir mulai berpuasa sejak 6 Juni hingga 4 Juli atau selama 29 hari. TEMPO/Iqbal lubis

TEMPO.CO, Gowa - Tak sulit menandai para anggota jemaah An Nadzir dari Gowa, Sulawesi Selatan. Dari penampilannya, kaum laki-laki dewasa anggota jemaah ini terlihat mencolok dengan jubah dan sorban berwarna hitam, rambut gondrong dan diwarnai pirang, plus celak pada mata mereka. Begitu pula para perempuannya yang berjilbab besar dan bercadar serba hitam.

Salat Idul Fitri

“Penampilan ini kami ikuti berdasarkan ajaran Rasulullah,” kata Lukman A. Bakti, ulama An Nadzir, kepada Tempo, Selasa, 23 Mei 2017. Tak hanya berpenampilan berbeda, para anggota An Nadzir pun bermukim secara terkonsentrasi di Desa Mawang, Kecamatan Somba Opu, sekitar 10 kilometer arah selatan Makassar.

Baca juga:
Asal Usul Jemaah An-Nadzir di Sulawesi Selatan

Desa Mawang dipilih menjadi tempat tinggal jemaah yang jumlahnya lebih dari 1.000 orang itu karena merupakan lokasi perkembangan ajaran An Nadzir. Umur ajaran ini belum lama. Penyebarannya dimulai saat Kiai Syamsuri Abdul Madjid asal Dumai, Kepulauan Riau, menggelar tabligh akbar di daerah tersebut pada 1998. “Beliau datang secara simpatik dan mendirikan Majelis Jundulloh. Banyak anggota jemaah yang kemudian menjadi pengikutnya,” kata Lukman.

Silaturahmi

Kiai Syamsuri meninggal pada 2006 dan dimakamkan di kompleks Pesantren Rabiyatul Adabiyah di Pangkalan Sesai, Dumai. Seperti ditulis Majalah Tempo pada 2014, jemaah An Nadzir yakin Imam Mahdi telah turun dan sudah membawa peringatan kepada umat Islam. Imam Mahdi yang diyakini oleh An Nadzir adalah Kahar Muzakkar, yang mewujud dalam diri Kiai Syamsuri Madjid.

Baca: Alasan Jemaah An Nadzir Jalani Puasa Ramadan Lebih Awal

Kepemimpinan Imam Mahdi akan dilanjutkan oleh Pemuda Bani Tamim, seorang panglima perang yang juga digelari "Rijalullah" atau lelakinya Allah. Menurut keyakinan An Nadzir, Pemuda Bani Tamim itu muncul di Indonesia, bukan di Arab, dan lebih tepatnya berasal dari komunitas mereka. Pada Idul Adha 2013, Rangka Hanung Daye Kiyo, amir sekaligus panglima jemaah An Nadzir, mendeklarasikan diri sebagai Pemuda Bani Tamim. Pria yang lahir di Gowa pada 2 Januari 1964 ini mengaku sudah ditunjuk Allah pada 1998.

Aktivitas sehari-hari

Menurut Lukman, nama An Nadzir berasal dari bahasa Arab, yang berarti pemberi peringatan, bukan hanya pengikutnya, tapi juga masyarakat umum. Ciri khas lain dari anggota jemaah ini adalah penetapan waktu salat yang berbeda. Mereka menggunakan alat pengukur bayangan matahari.

Baca Juga: 6 Hal Tentang Tarekat Naqsabandiyah Sumatera Barat

Waktu salat Jumat dan zuhur baru masuk pada akhir waktu salat zuhur yang biasa dilakukan muslim kebanyakan di Indonesia. Sedangkan waktu ashar dipercepat pada pukul 15.00. Mereka juga melambatkan masuknya magrib sekitar pukul 18.30. Adapun isya dimulai pada dua pertiga malam, sekitar pukul 03.00. Sedangkan subuh dimulai pada pukul 05.30, ketika terbit fajar.

 Di Jakarta, pecahan jemaah An Nadzir membentuk Majelis Latiful Akbar. Rumah pengajian jemaah ini berada di Koja, Jakarta Utara, milik Baidabba Gustaman. Baidabba adalah menantu Kahar Muzakkar. Dia suami Titiek Kahar, putri ketiga Kahar dan Susana Corry van Stenus. Setiap Jumat, sekitar 30 anggota jemaah menggelar salat. Mereka datang dari Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

TIM TEMPO