Ramainya Tradisi Keraton Kasepuhan Cirebon Saat Ramadan  

Keraton Kasepuhan ini dibangun oleh Panembahan Pakungwati I tahun 1529 di Cirebon, Jawa Barat, (26/1). Keraton kerajaan Islam ini merupakan perluasan dari Keraton Pakungwati yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana. TEMPO/Prima Mulia
Keraton Kasepuhan ini dibangun oleh Panembahan Pakungwati I tahun 1529 di Cirebon, Jawa Barat, (26/1). Keraton kerajaan Islam ini merupakan perluasan dari Keraton Pakungwati yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Cirebon - Menyambut Ramadan, Keraton Kasepuhan memiliki sejumlah tradisi dan ritual keagamaan. Tradisi tersebut berlangung hingga berakhirnya Ramadan.

Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat menjelaskan jika tradisi menyambut puasa dimulai dengan tradisi dlugdag. “Tradisi ini menandai datangnya bulan suci ramadhan,” kata Arief, Selasa, 23 Mei 2017.

Baca juga: Pawai Obor Sambut Ramadan di Manado, Umat Nasrani Ikut Ramaikan

Tradisi dlugdag berupa pemukulan bedug seusai pelaksanaan salat Ashar berjamaah di Langgar Agung Keraton Kasepuhan Cirebon. Pemukulan bedug ini dimulai dengan suara rendah, tengah hingga akhirnya tinggi.

“ini menandakan siklus kehidupan manusia, mulai dari bayi baru lahir, balita, remaja, dewasa hingga akhirnya kembali lagi ke Sang Pencipta,” kata Arief.

Tradisi dlugdag ini juga sebagai penanda berakhirnya Syaban dan pada malam harinya digelar salat Tarawih berjamaah sebagai tanda datangnya Ramadan yang suci.

Selanjutnya selama sebulan penuh, di Masjid Agung Sang Cipta Rasa juga digelar salat Tarawih berjamaah. “Juga tadarusan usai salat Tarawih,” kata Arief.

Tadarus selama sebulan penuh tersebut dengan target khatam Alquran. Lalu pada 20 sampai dengan 30 Ramadan, digelar tradisi hajat maleman. “Tradisi tersebut untuk menyambut 10 hari terakhir menjelang berakhirnya bulan suci ramadhan,” kata Arief.

Seperti diketahui, pada 10 hari menjelang berakhir Ramadan, ada yang disebut dengan malam lailatul qadr, yaitu malam yang lebih baik seribu bulan.

Pada hajat maleman ini, keraton mengirimkan minyak kelapa, lilin dan ukup atau wewangian ke Astana Gunung Jati yaitu kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati dan keturunannya, sejumlah masjid dan situs. Minyak kelapa bersama kapas yang dipilin dinyalakan setiap malam ganjil. “Pada malam-malam ganjil ini kita diminta untuk memperbanyak ibadah,” kata Arief.

Sedangkan pada 1 Syawal atau Idul Fitri, akan digelar salat Idul Fitri di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Usai salat ied, sekatenan dibunyikan sebagai untuk menyambut sultan yang baru selesai salat dan sejumlah tamu ke keraton. “2 Syawal nanti keraton Kasepuhan akan menggear silaturahmi dengan warga,” kata Arief.

IVANSYAH

Video Terkait: Pawai Seribu Obor Menyambut Ramadan