Asal Usul Jemaah An-Nadzir di Sulawesi Selatan

Jemaah An Nadzir shalat Idul Adha 1437 H secara berjamaah di Padepokan kawasan Mawang, Gowa, Sulawesi Selatan, 1 September 2016. Perbedaan perayaan hari raya yang dilaksanakan oleh Jemaah An Nadzir dikarenakan hasil pengamatan dan perhitungan ruqyah, serta perjalanan bulan ramadhan dan Dzulkaidah sesuai pengamatan mereka. TEMPO/Fahmi Ali
Jemaah An Nadzir shalat Idul Adha 1437 H secara berjamaah di Padepokan kawasan Mawang, Gowa, Sulawesi Selatan, 1 September 2016. Perbedaan perayaan hari raya yang dilaksanakan oleh Jemaah An Nadzir dikarenakan hasil pengamatan dan perhitungan ruqyah, serta perjalanan bulan ramadhan dan Dzulkaidah sesuai pengamatan mereka. TEMPO/Fahmi Ali

TEMPO.CO, Makassar - Ulama jemaah An-Nadzir Lukman A Bakti menjelaskan kisah masuknya An-Nadzir di Sulawesi Selatan. Awalnya, seorang ulama bernama KH Syamsuri Abdul Madjid menggelar tabligh akbar di Sulawesi Selatan pada 1998 Kedatangannya di Sulawesi Selatan mengundang simpati sehingga banyak pengikutnya.

"Kiai ini bermukim di Dumai Kepulauan Riau, tapi datang di sini untuk tabligh akbar," kata Lukman kepada Tempo, Selasa 23 Mei 2017.

Baca juga: An-Nadzir Sulawesi Selatan: Insya Allah 1 Ramadan Jatuh Kamis

Menurut Lukman, Syamsuri sempat mendirikan Pondok Pesantren Al Adawiyah di Dumai. Namun saat menetap di Sulawesi Selatan, Syamsuri mendirikan Majelis Jundulloh. "Banyak jemaah berbondong-bondong datang, dan banyak yang menjadi pengikutnya," tutur Lukman.

Hanya berselang beberapa tahun, lanjut Lukman, majelis Jundulloh dikeluhkan Laskar Jundulloh pimpinan Agus Dwikama. Sehingga pada 2002, diubahlah nama majelis Jundulloh menjadi jemaah An-Nadzir. Ciri-cirinya menggunakan sorban dan jubah, berambut pirang dan berbaju warna hitam-hitam.

Menurut Lukman, kata An-Nadzir tersebut dari bahasa Arab yang artinya pemberi peringatan, bukan hanya pengikutnya melainkan juga masyarakat umum. Saat ini jumlah jamaah An-Nadzir sekitar 1.000 orang.

Simak pula: Tarekat Naqsabandiyah Sumatera Barat: 1 Ramadan Jatuh pada Kamis

Ciri khas mereka adalah rambut pirang dan memakai celak bagi laki-laki. Sedangkan perempuan menggunakan cadar penutup muka dan jilbab besar. "Kita mengikuti ajaran Rasulullah dan yang dia lakukan termasuk memanjangkan rambut dan berwarna pirang," ucap dia.

Selain itu, perbedaan penetapan waktu salat, di mana An-Nadzir menggunakan alat pengukur bayangan matahari. Misalnya shalat Zuhur ditetapkan pukul 16.00 Wita, ashar pada pukul 16.30 Wita, serta Magrib ketika senja dan langgit gelap lalu waktu isya dilakukan menjelang subuh yakni pukul 05.00 Wita.

DIDIT HARIYADI