Shinta Wahid: Napi Lebih Suka Disebut Nyantri...

Shinta Nuriyah Abdurachman Wahid pada acara peluncuran Abdurrahman Wahid Center dan diskusi Agama dan Toleransi di Persimpangan Jalan di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu 18 Juli 2012. TEMPO/Subekti
Shinta Nuriyah Abdurachman Wahid pada acara peluncuran Abdurrahman Wahid Center dan diskusi Agama dan Toleransi di Persimpangan Jalan di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu 18 Juli 2012. TEMPO/Subekti

TEMPO.CO, Bangkalan - Sejak mendiang KH Abdurrahman Wahid dilantik jadi Presiden RI keempat pada 20 Oktober 1999, Shinta Nuriyah, istri Gusdur, sapaan Abdurrahman Wahid, rutin menggelar sahur dengan rakyat kecil setiap bulan Ramadan.

Rakyat kecil yang diajak sahur bersama itu dari mbok bakul, pasukan kuning, penambang pasir, sampai tukang parkir. "Sudah 16 tahun sahur bareng seperti ini saya lakukan," kata Ibu Negara keempat ini saat menggelar sahur bersama pasukan kuning di rumah dinas Wakil Bupati Kabupaten Bangkalan, Sabtu dinihari, 3 Juli 2016.

Bagi Shinta, tempat sahur bareng di Bangkalan kali ini terbilang mewah. Biasanya, Shinta sahur di tengah-tengah pasar bersama mbok bakul dan tukang parkir. Dia juga pernah sahur dengan para pengemis di kampung pengemis di Kabupaten Jember. "Mereka (mbok bakul, pengemis, dan tukang parkir) patut disambangi. Selama ini mereka dimarginalkan," ujarnya.

Selain rakyat jelata, Shinta kadang sahur bareng penghuni lembaga pemasyarakatan. Dia pernah sahur bersama seorang teroris yang dipenjara seumur hidup, pembunuh sadis, hingga koruptor yang setelah masuk LP bisa khatam baca Al-Quran tiga kali dalam sebulan.

Shinta mengatakan, sebesar apa pun kesalahan seseorang, pelaku kejahatan jangan dikucilkan. Tujuannya untuk menyadarkan mereka sehingga tak mengulangi perbuatannya setelah bebas. "Napi itu lebih suka disebut nyantri timbang di penjara, karena banyak yang jadi religius. Ada koruptor dalam sebulan khatam Quran tiga kali," tuturnya.

Satu ajaran yang selalu ditekankan Shinta Nuriyah dalam ceramahnya adalah menyebarkan ajaran pluralisme kepada masyarakat. Ajaran ini identik dengan sosok Gusdur, suaminya. Bagi dia, asas Bhinneka Tunggal Ika harus benar-benar diterapkan dalam kehidupan agar tidak ada lagi orang bertengkar karena suku, saling bunuh karena berbeda agama, atau saling mengejek hanya karena berbeda warna kulit. "Dari suku Dayak, Bugis, Ambon, Papua, sampai Madura adalah saudara sebangsa se-Tanah Air," ucapnya.

Shinta juga mengecam maraknya pencabulan, pemerkosaan, dan kekerasan terhadap kaum perempuan di Indonesia akhir-akhir ini. "Ada yang bilang pemerkosaan lagi tren, tolong jangan pakai istilah itu, pemerkosaan kok ngetren?"

Wakil Bupati Bangkalan Mondir Rofi'I menilai figur Shinta Nuriyah luar biasa. Kesetiaan dalam cinta dan perjuangannya bersama Gusdur patut dicontoh oleh semua perempuan, khususnya di Bangkalan. "Beliau menginspirasi," katanya.

MUSTHOFA BISRI